Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus
1945, Undang Undang Dasar
1945 memberikan penggambaran bahwa
Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden
harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih
dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan
negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat
mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya
diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno
menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah
mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan
kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun
1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia
terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak
dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya.
Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi
tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan
mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari
hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia,
yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang
dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan
Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila.
Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi
yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah
memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik
warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman
pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi
sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh
berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang
otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai
bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid
dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca
reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis
masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif,
efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah
Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih
menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat
sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut
bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum
menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme
politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab pilihan demokrasi
yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya
Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat
perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik
yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang sangat
besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen UUD
1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI,
demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun
begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi
dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial
di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit
yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang
korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun
elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk
mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan
kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat,
dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang
terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang
diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang
memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan
belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi
sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi
non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya
terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan
sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih
merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan
demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di
tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi.
Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah
kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal
ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat
apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan
di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan
mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan
hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut,
representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun
menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa
dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para
elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit
yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk Indonesia? Pertanyaan
yang muncul dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi 1998 juga belum dapat
menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia, apakah
demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi pertanyaan diatas,
penulis perlu menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai sistem
politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah nilai
yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para
warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Idealismenya,
setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat mempengaruhi
kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain itu,
demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menghasilkan
penyalahgunaan wewenang.
Penulis melihat bahwa masa transisi
di Indonesia yang masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih
dikarenakan negara hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat
mengkonsolidasikan demokrasi. Persyaratan untuk menuju konsolidasi demokrasi
akhirnya memang sangat bertumpu pada proses reformasi hukum. Hukum harus
diciptakan untuk memberikan jaminan berkembangnya masyarakat sipil dan
masyarakat politik yang otonom, masyarakat ekonomi yang terlembagakan, dan
birokrasi yang mampu menopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus
dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar mampu
menghasilkan alternatif-alternatif politik dan mampu mengontrol dan memantau
pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, penulis melihat
masih ada harapan bagi Indonesia di masa yang akan datang. Walaupun banyak yang
skeptis bahwa masa depan politik di Indonesia akan menuju kearah yang lebih
baik. Namun perkembangan yang terjadi belakangan ini dapat dijadikan setitik
harapan bagi masa depan Indonesia. Yang perlu dicatat adalah jangan sampai kita
terjebak dalam demokrasi prosedural saja dan melupakan ketertinggalan
masyarakat secara ekonomi maupun sosial. Masalah-masalah sosial yang secara
jelas mengancam integrasi bangsa ini dan juga berbagai kasus kelaparan harulah
cepat diselesaikan. Seiring dengan perbaikan sistem politik dan juga
aktor-aktor yang terlibat didalamnya.
*Catatan
Yang Hilang Oleh Zaman
Anonymus
0 komentar:
Posting Komentar