“Hari ini telah
Kusempurnakan bagi kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu: (QS. Al-Maidah : 3).
“Dan mereka yang
berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku tunjukkan jalannya (mencapai
tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat
(progresif) (QS. Al-Ankabut : 69).
Islam sebagai
ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola
hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah di muka
bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya.
Iradat Allah
Subhanu Wata’ala, kesempurnaan hidup terukur dari personality manusia yang
integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman,
ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan hidup di dunia
baik secara induvidual maupun kolektif.
Secara normatif Islam
tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual akan tetapi merupakan
suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat
pemaham/kesadaran, kepentingan, struktur
dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.
Substansi
pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan
etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan menyiratkan perlunya
peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap rahmat (Pengasih), barr (Pemula),
ghafur (Pemaaaf), rahim (Penyayang) dan (Ihsan) berbuat baik.
Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kafah (tidak
boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik,
ekonomi dan sosial budaya).
Adanya
kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami marginalisasi dan tidak
mempunyai peran yang signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari
proses yang ambigiutas dan distorsif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya
mutual understanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi.
Penempatan posisi yang antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan
politik penguasa dari politisi-politisi yang mengalami split personality.
Kelahiran HMI
dari rahim pergolakan revolusi phisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1974
didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam
berbagai aspek ke Indonesian.
Semangat nilai
yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai interest group (kelompok
kepentingan) dan pressure group (kelompok penekanan). Dari sisi
kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan adalah terutangnya nilai-nilai
tersebut secara normatif pada setiap level kemasyarakatan, sedangkan pada
posisi penekan adalah keinginan sebagai pejuang Tuhan (sabilillah) dan
pembelaan mustadh’afin.
Proses
internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan suasana interaksi yang sangat
plural menyebabkan timbulnya berbagai dinamika ke-Islaman dan ke-Indonesiaan
dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya.
Pada tahun 1955
pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara nasionalis,
komunis dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity)
memberikan spirit proses ideologisasi organisasi. Eksternalisasi yang muncul
adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang
mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan
kreatifitas intelektual pada Kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaharuan
pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu
perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka
pada Kongres ke-X HMI di Palembang, tanggal 10 Oktober 1971 terjadilah proses
justifikasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar.
Orientasi
aktifitas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan
terjadinya proses adaptasi pada jamannya. Keyakinan Pancasila sebagai keyakinan
ideologi negara pada kenyataannya mengalami proses stagnasi. Hal ini memberikan
tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi aplikasi Pancasila. Normatisasi
Pancasila dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar
mampu mensuport bagi setiap institusi kemasyarakatan dalam mengimplementasikan
tata nilai Pancasila.
Konsekuensi yang
dilakukan HMI adalah ditetapkannya Islam sebagai identitas yang mensubordinasi
Pancasila sebagai azas pada Kongres XVI di Padang, Maret 1986.
Islam yang
senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para penganutnya untuk
melakukan invonasi, internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan
yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan
yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal.
Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya
keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara
vertikal maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan pilihan
dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan, maka HMI bertekad Islam dijadikan sebagai doktrin yang
mengarahkan pada peradaban secara integralistik, trasedental, humanis dan
inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan
keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran
yang paling hakiki dan menyerahkan semua demi ridho-Nya
0 komentar:
Posting Komentar