About

Email : Kritik dan Sarannya ditunggu d.haryanto88@gmail.com

Selasa, 27 Mei 2014

REFLEKSI SUMPAH PEMUDA; SEBUAH IKHTIAR MELANJUTKAN PERJUANGAA




Oleh : Usep Mujani 

Pemuda Indonesia kini, adalah sebuah generasi baru. sebagian besar lahir dan dibesarkan setelah ‘revolusi bambu runcing’ berakhir. Sehingga, mereka hidup dan dimatangkan dalam lingkungan alam kemerdekaan, di zaman yang relatif ‘damai’ yakni disaat-saat pengisian bukan lagi perjuangan. Oleh karena itu, kita pun mafhum bahwa pola hidup, cara berpikir dan mentalitas pemuda terpaut jauh jika harus menoleh kembali sejarah sumpah pemuda yang diikrarkan pada tahun 1928 lalu.

Sejarawan Taufik Abdullah, memberikan konsepsi menarik terkait pemuda;

“Pemuda atau generasi muda, adalah konsep-konsep yang sering diberati oleh nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah tetapi sering lebih merupakan pengertian ideologis dan kulturil. ‘pemuda harapan bangsa’, pemuda pemilik masa depan’, atau ‘pemuda harus dibina’ dan lain sebagainya, memperlihatkan betapa saratnya nilai yang begitu melekat pada kata pemuda tersebut” (Taufik Abdulah: 1974).

Konsepsi yang dicatat oleh Taufik Abdullah sekurang-kurangnya memberikan pemahaman bahwa term pemuda tidak hanya melekat pada usia tertentu, melainkan jauh dari itu, sebagai jiwa yang melahirkan perubahan dan sebagai ‘harapan’ bangsa disisi yang lain. Sejatinya, pemuda indonesia merupakan komponen bangsa yang hadir sebagai ikon perubahan. Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, peran pemuda selalu menjadi awal inspirasi bangkitnya berbagai gerakan perlawanan terhadap bentuk kolonialisme dan imperialisme dari kerajaan Belanda maupun kekaisaran Jepang.

Terbentuknya Budi Utomo sebagai organisasi modern pertama di Indonesia, merupakan tonggak lahirnya kabangkitan nasional. Keberhasilan tersebut dapat kita lihat pada momentum sumpah pemuda yang kita renungkan bersama hari ini. Selain itu, heroisme perlawanan yang dipelopori pemuda terhadap Jepang dan sekutu tahun 1945-an dan masa revolusi 1966-an terbukti memberikan peran sentral bagi pemuda. Tidak sampai disitu, gejolak perlawanan dan aksi pemuda dalam mengawal dan mengoreksi segala kebijakan orde baru pun telah teruji pada Mei 1998.

Dari romantisme pemuda diatas setidaknya didapati benang merah yang wajib kita catat bersama, bahwa pemuda dari masa ke-masa telah teruji sebagai ujung tombak dari perubahan dan pergerakan nasional. Tentu saja kita mustahil lupa atas dialektika sejarah tersebut.

Gagasan sumpah pemuda merupakan ruh atas keinginan membentuk Indonesia sebagai negara-bangsa (nation state). Konsep sumpah pemuda sejatinya sejalan dengan apa yang dikemukakan Ernest Renan sebagai ikhtiar menyoal bangsa. Bahwa cikal bakal terbentuknya bangsa lebih karena adanya kesamaan nasib dan penderitaan, serta adanya semangat dan tekad yang kuat untuk berhimpun dalam sebuah natoin (Tardjo Ragil: 2009).

Sumpah pemuda 1928, yang didalamnya termaktub ikrar berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu; Indonesia. merupakan titik kulminasi dari kegelisahan pemuda, merefleksikan dan mengaktualisasikan kembali muatan nilai yang tersirat didalamnya harus kita pahami sebagai bagian dari proses memaknai dan memberikan pengertian atas bangunan perjuangan yang kita jalani sekarang ini.

Narasi Mati Sumpah Pemuda
Sayangnya, hanya sebagian kecil saja yang masih merasakan atmosfer kegagahan pemuda, eksistensi pemuda melebur tergilas zaman. Pemuda dan cerita-cerita heroiknya kini hanya tersimpan abadi disetiap museum. Sumpah Pemuda yang seharusnya tetap hidup dalam setiap ubun-ubun generasi muda dalam perjalanannya telah berubah menjadi ‘rumah tontonan’ belaka.

Jiwa perkasa pemuda telah bertransformasi menjadi narasi yang mati, menjadi tontonan kolosal, bahkan pemuda dan sumpahnya telah menjadi komoditas politik bagi “para tongkang berdasi”. Ironi kematiannya disenandungkan bersama sebagai lagu pengantar tidur anak cucu kita. Ironisnya, Sumpah pemuda dengan tanpa kompromi ditempatkan sebagai seremonial tahunan tanpa didorong untuk memahami makna yang dikandungnya. Alenia diatas seperti fiksi, semacam kegelisahan yang dibumbui metafora. Namun begitulah adanya, kami mengada-ada yang memang ada terlihat, terasa dan terpikirkan.

Kami pun merasa perlu untuk memaparkan secar singkat realita pemuda pada konteks sekarang, suka atau tidak suka dalam banyak hal makna pemuda telah mengalami pergeseran yang amat memprihatinkan.

Jika dahulu pemuda turut menggagas kebersatuan bangsa, maka hari ini justru pemuda menjadi pemecah kebersatuan itu. Sendi kehidupan mereka telah dijejali sikap rasisme, maka tidak heran jika ‘pemuda bandung’ sampai hari ini tetap bermusuhan dengan ‘pemuda jakarta’. Selain itu, dari sekian banyak episode kasus terorisme, kita pun maklum bahwa hampir seluruhnya diperankan oleh pemuda. Mereka telah menjadi martil bagi kepentingan golongan tertentu. Senandung keberpihakan pada rakyat yang selalu menghiasi karya-karya pemuda sudah jarang terlihat. Sebaliknya, kini mereka lebih senang memikirkan bagaimana caranya senandung rakyat berpihak padanya.

Narasi diatas hanyalah beberapa, sebagian yang lain biarlah menjadi rahasia kita bersama. Namun satu hal, coba pikirkan dengan seksama, apa yang sebenarnya telah terjadi pada pemuda bangsa ini?

Demikianlah kematian narasi yang kami maksud, Sumpah pemuda kini telah berubah menjadi langue tertutup tidak lagi diposisikan sebagai parole yang tetap hidup. Mungkin kita pun sadar bahwa dari tahun ke tahun sumpah pemuda dilewati sebagai upacara seremonial belaka, tanpa didorong untuk membubuhkan semangat juangnya pada generasi sekarang ini.

Pemuda dan Tanggung jawab Perubahan
Belajar dari Ki Hajar Dewantoro, pemuda harus memiliki sifat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani. Artinya Pemuda harus berada di garda paling depan dalam melakukan perubahan sosial sebagai lokomotif perubahan. Di tengah pemuda harus bahu-membahu bersama rakyat dalam mencapai kesejahteraan rakyat. Keadaan yang buruk ini harus segera diakhiri. Dibelakang pemuda harus mampu memberikan stimulus pada rakyat dalam menuju perubahan kearah yang lebih atau yang dijanjikan oleh kemerdekaan dapat tercapai jika dalam setiap derap langkah kita diwarnai oleh rasa kesatuan dan kesadaran akan tanggung jawab perubahan tersebut.

Soe Hok Gie meringkas tanggung jawab tersebut dalam catatannya bahwa “Dalam masa pergerakan nasional, kaum intelegensia mempunyai tugas; merebut kemerdekaan dengan solidaritas pada rakyat” (Soe Hok Gie: 2005). Kaum inlegensia yang demikian dapat dikatakan sudah memenuhi dharmanya.

Keniscayaan gobalisasi memang membuat dunia seolah-olah tampak seperti global village, sebuah kampung manusia dari berbagai suku dan bangsa saling berkompetisi guna menjaga eksistensinya. Realitas ini adalah persaingan, bangsa yang mememiliki pertahanan yang kuat maka dengan sendirinya akan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain (Adhiyaksa Dault: 2007)

Menyemai sikap nasionalisme serta semangat kesatuan dalam jiwa pemsuda menjadi modal penting dalam realitas perseteruan global. tanpa pemahaman yang konprehensif tentang kondisi nasib bangsa saat ini akan menjadi taruhan masa depan generasi Indonesia. Karena bangsa ini tidak memiliki pilihan kecuali terjun dalam sebuah keniscayaan globalisasi,

namun, Sangat janggal rasanya ketika agent of change tersebut hanyalah menjadi penonton atas perubahan besar yang telah berhasil dikontribusikannya. Hendaknya pemuda bukan lagi hanya sekedar  agent of change, tetapi juga sebagai direct of change yakni yang menjalankan perubahan tersebut menuju kekokohan ketahanan nasional sebuah negara (Dr. Azis Syamsudin: 2009). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua aspek tersebut merupakan suatu keseluruhan yang harus dipenuhi secara serasi dan seimbang sehingga cita-cita perubahan sosial dapat terwujud dan kontinyu .
Tantangan Nyata HMI Cabang Ciputat

Pasca tahun 60-an HMI sebagai salah satu dari organisasi kepemudaan tak lebih bermakna sama dengan yang lain. Ciputat sebagai sarang pemuda-pemuda akademis dan komunitas-komunitas intelektual sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Padahal, basis intelektualitas merupakan prasyarat penting bagi setiap perjuangan pemuda. Penyadaran semangat intelektualitas inilah merupakan bagian dari komitmen alamiah dalam perjuangan menegakan kebenaran, sebagai ikhtiar membangun diskursus kritis serta sebagai upaya menciptakan ruang publik yang ilmiah dan terbuka.

Basis yang lain adalah pengambilan jarak (distance) pada aspek-aspek politis dengan tetap mempertahankan perspektif kritis dalam mengawal segala kebijakan penguasa. Hal ini memberikan tanda bahwa kita telah berdiri secara proporsional diatas misi perhimpunan kita, yakni menjadi Insan akdemis, pencipta dan pengabdi. Terhadap pandangan yang demikian ini, keterlibatan secara individual maupun komunal dalam lingkaran politik praktis baik yang terjadi pada tingkatan nasional maupun lokal tidak dapat dibenarkan sama sekali, karena bukanlah capaian utama, yang menjadi capaian utama para pemuda adalah terbentuknya masyarakat madani (civil society) yang kuat, berdaulat, mandiri serta mampu mengimbangi kekuasaan negara (state).

Jika kedua basis diatas disemai secara terus-menerus, maka dengan sendirinya HMI Cabang Ciputat akan kembali menjadi sebuah gerakan sosial yang selalu menempatkan aktifitas intelektual sebagai kekuatan utama.

Tantang lainnya adalah belum terbentuknya sikap berani mengambil sikap (ijtihad) dan include dalam penyelesaian masalah-masalah bangsa. Ijtihad yang dimaksud tidak lain adalah seperangkat pernyataan kritis beserta penyelesaian taktis yang telah disesuaikan dengan kondisi objektif yang dihadapi. Tentu saja gagasan ini pasti memunculkan bermacam-macam tanggapan, baik itu positif maupun negatif. terlepas dari hal itu, esensi ijtihad itu sendiri adalah dialog, adanya ruang diskursus dan dialektika antara pemikiran generasi yang hadir secara bersamaan. Kebiasaan ini dengan sendirinya akan melahirkan kader-kader yang memiliki kepekaaan sosial, dan berjiwa leader dalam kehidupan bermasyarakat.

Terakhir, mengambil momentum peringatan hari sumpah pemuda yang ke-83 ini, sudah saatnya HMI Cabang ciputat sebagai institusi menunjukan peranannya kembali, bukan lagi sebagai mobilitator penggulingan rezim diktator, melainkan sebagai agent of change sekaligus sebagai direct of change dalam perubahan sosial dan—meminjam istilah Anis Baswedan—sebagai upaya kita dalam ‘melunasi’ janji-janji kemerdekaan. Kesadaran tersebut insyaallah, membuka jalan baru bagi Indonesia maju, sejahtera dan berkeadilan sosial.

Pada tahapan inilah kami berkesimpulan bahwa posisi HMI Cabang Ciputat sebagai rahim para pemikir dipertaruhkan.

Terimakasih.

0 komentar:

Posting Komentar