A.
Pendahuluan
Dewasa ini demokratisasi merambah semua aspek kehidupan, tidak hanya pada bidang politik. Hal ini dapat dilihat dari suara-suara yang mengemuka dan proses yang berjalan ke arah sana. Ini disebabkan arus globalisasi yang begitu deras sehingga mempengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat. Terlebih demokrasi menurut pengusungnnya menawarakan pengakuan hak-hak individu seluas-luasnya. Menawarkan kepada setiap individu untk menentukan pilihan politiknya sendiri, menawarkan persamaan gender (kesamaan antara laki-laki dan perempuan) dan emansipasi, tidak peduli menerobos wilayah agama, menawarkan kepada setipa individu untuk meyakini dan memeluk agama apapun serta berpindah agama. Itulah prinsip-prinsip demokrasi yang selalu dipropagandakan dan pihak manapun tidak menekannya. Siapa yang merampasnya berarti melanggar HAM, karena HAM itu memang anak kandung demokrasi.
Dewasa ini demokratisasi merambah semua aspek kehidupan, tidak hanya pada bidang politik. Hal ini dapat dilihat dari suara-suara yang mengemuka dan proses yang berjalan ke arah sana. Ini disebabkan arus globalisasi yang begitu deras sehingga mempengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat. Terlebih demokrasi menurut pengusungnnya menawarakan pengakuan hak-hak individu seluas-luasnya. Menawarkan kepada setiap individu untk menentukan pilihan politiknya sendiri, menawarkan persamaan gender (kesamaan antara laki-laki dan perempuan) dan emansipasi, tidak peduli menerobos wilayah agama, menawarkan kepada setipa individu untuk meyakini dan memeluk agama apapun serta berpindah agama. Itulah prinsip-prinsip demokrasi yang selalu dipropagandakan dan pihak manapun tidak menekannya. Siapa yang merampasnya berarti melanggar HAM, karena HAM itu memang anak kandung demokrasi.
Pemahaman
demokrasi yang selama ini kita ketahui yaitu dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat. Sehingga segala keputusan ataupun kebijakan yang diambil pemerintah itu
seharusnya diputuskan karena kehendak rakyat karena hasil kebijakan yang
ditetapkan itu pun yang menjalankan adalah rakyat. Jadi jika dalam prakteknya
demokrasi yang diterapkan suatu Negara sama dengan teorinya seharusnya
permasalah-permasalahan yang ada sekarang ini itu tidak ada namun, melihat
faktanya demokrasi sendiri yang diterapkan sudah melenceng jauh seperti
teorinya.
Konsep
demokrasi sendiri menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu
politik. Karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan
politik suatu Negara. Seperti yang saya katakan demokrasi merupakan salah satu
konsep atau system politik yang berasal dari Barat. Demokrasi memiliki arti
penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab hak masyarakat untuk
menentukan sendiri jalan organisasi yang dijamin. Hingga saat ini, demokrasi
merupakan terminology politik yang paling popular dan sering dipakai beberapa
Negara termasuk juga Negara-negara di dunia Muslim.
Sebenarnya
istilah demokrasi itu sendiri bagi pemikiran Islam baru berkembang ketika paruh
abad ke-19. Pemikir-pemikir Islam di beberapa dunia ini sekitar abad ke-20
mulai membicarakan masalah demokrasi dengan Islam, mereka memandang bahwa
demokrasi sebagai sesuatu hal yang positif. Hingga akhirnya para pemikir Islam
ini moncoba mencari kesamaan antara demokrasi dari Barat ini terhadap
ajaran-ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Lalu, muncullah
apa yang disebut dengan syura.
B.
DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF BARAT
a. Sejarah Perkembang Demokrasi Barat
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai
hubungan Negara dan hukum Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara
antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 SM. Bentuk demokrasi yang dipraktekkan pada masa itu
adalah demokrasi langsung dimana hak rakyat untuk membuat keputusan politik
dijalankan secara langsung berdasarkan prosedur mayoritas. Bentuk demokrasi
langsung tersebut dapat dijalankan dengan baik di Yunani Kuno, disebabkan
karena Negara Kota ini merupakan wilayah Negara yang tidak terlalu besar dengan
jumlah penduduk sekitar 300.000 jiwa sehingga demokrasi dapat dijalankan
walaupun dalam kondisi sederhana. Selain itu ketentuan-ketentuan untuk
menikmati hak demokrasi hanya dapat dirasakan oleh warga Negara resmi,
sedangkan budak, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat
menikmatinya. Gagasan demokrasi di Yunani Kuno ini berakhir pada abad
pertengahan.
Pada abad
pertengahan masyarakat barat dicirikan dengan feodalisme, kehidupan spiritual
dikuasi oleh Paus dan pejabat agama, dan kehidupan politiknya selalu diwarnai
dengan perebutan kekuasaan diantara para bangsawan. Karena itu demokrasi tidak
dapat berjalan pada abad ini. Keadaan seperti itu terus berlanjut hingga
kemunculan kelompok yang ingin menghidupkan kembali demokrasi tumbuh kembang
dan puncaknya adalah lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) sebuah piagam yang
memuat perjanjian antara kaum bangsawan Inggris dan Raja John yang merupakan
tonggak kebangkitan demokrasi empirik.
Momentum
lain yang menandai kebangkitan kembali demokrasi di dunia barat adalah gerakan
rennaisance dan reformasi. Renaissance lahir di barat karena adanya kontak
dengan dunia Islam yang ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan ilmu
pengetahuannya. Karena itu seorang orientalis Philip K. Hitti menyatakan bahwa
dunia Islam telah memiliki sumbangan besar terhadap perkembangan dan kemajuan
eropa. Sedngkan reformasi, suatu gerakan revolusi agama yang terjadi di eropa
pada abad ke-16 yang bertujuan memperbaiki keadaan dalam gereja katolik. Hasil
dari gerakan reformasi adalah adanya peninjauan terhadap doktrin gereja katolik
yang berkembang menjadi protestanisme.
Usaha untuk mendobrak pemerintahan absolut dan dominasi gereja itu didasarkan pada teori rasionalitas “social-contract” (perjanjian masyarakat) serta menetapkan hak-hak politik rakyat dalam satu asas yang disebut demokrasi.
Usaha untuk mendobrak pemerintahan absolut dan dominasi gereja itu didasarkan pada teori rasionalitas “social-contract” (perjanjian masyarakat) serta menetapkan hak-hak politik rakyat dalam satu asas yang disebut demokrasi.
Dua
filosof besar yaitu John Lock dan Montesquieu telah memberikan subangan besar
bagi gagasan pemerintahan demokrasi. John Lock (1632 – 1704) menegmukakan bahwa
hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak milik;
sedangkan Montesquieu (1689 – 1944) mengungkapkan sistem pokok yang menurutnya
dapat menjamin hak-hak politik tersebut adalah melalui “trias politica”-nya,
yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri secara merdeka.
b. Makna dan Hakikat Demokrasi Barat
b. Makna dan Hakikat Demokrasi Barat
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan
bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis), secara etimologis “ demokrasi”
terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang
berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang
berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah
keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan
rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat
berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Dengan
pendekatan normatif, istilah “demokratia” berarti “pemerintahan oleh rakyat”.
Atau dalam rumusan negarawan Amerika, Abraham Lincoln, pada 1963, “demokrasi”
adalah”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” (government of the
people, by the people, for the people). Dalam suatu negara rakyatlah yang
memiliki kekuasaan tertinggi (government of rule by the people). Rakyat
merupakan pemegang policy dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain
itu, masih banyak defenisi demokrasi yang berbeda-beda maknanya. Salah satu
seperti Dahl, misalnya, mengajukan pendefinisian demokrasi sebagai sebuah idel
politik modern, yang mencakup lima kriteria. Pertama, persamaan hak pilih,
yaitu bahwa setiap warga negara memiliki hak istimewa dalam proses membuat
keputusan kolektif, dan hak ini harus diperhatikan secara berimbang dalam
menentukan kepusan terakhir. Kedua, partisipasi efektif, yaitu bahwa setiap
warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk
mengemukakan hak-hak istimewanya dalam proses pembuatan keputusan. Ketiga,
pembeberan kebenaran, yaitu bahwa setiap warga negara harus mempunyai peluang
yang sama dan memadai untuk menilai secra logis demi mencapai hasil yang
terbaik. Keempat, kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu bahwa masyarakat
harus memiliki kekuasaan eksklusif untuk menentukan agenda mana yang harus dan
tidak harus diutuskan melalui proses kekuasaan, termasuk mendelegasikan
kekuasaan itu kepada orang lain atau lembaga yang mewakilinya. Dan kelima,
pencakupan, yaitu bahwa masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam
kaitannya dengan hukum.
Dari
beberapa defenisi yang dikemukan beberapa ahli politik tersebut nampaknya ahli
politik mementingkan atau mendahulukan keterlibatan rakyat dalam proses
pengambilan keputusan atau kebijakan politik. Meskipun dalam terminologinya
memilki banyak batasan pengertian, namun batasan yang dikemukakan para pakar
politik tersebut tanpak menemukan titik temu yang sama. Yaitu, bahwa demokasi
memilki doktrin dasar yang tidak pernah berubah. Doktrin tersebut adalah adanya
keikutsertaan anggota masyarakat, yaitu partisipasi rakyat dalam menyusun
agenda politik yang dijadikan landasan pengambilan keputusan.
Perlu kita
ketahui pula bahwa landasan utama dari system demokrasi adalah norma-norma
egalitarianism (persamaan) dan liberty (kebebasan) yang dalam perkembangan
modern dikukuhkan dalam Hak-hak Asasi Manusia Universal. Khususnya, hak-hak
dasar yang berkaitan dengan hak berbicara, menyatakan pendapat, berserikat dan
berkumpul adalah norma paling dasar. Seterusnya, kedaulatan rakyat, rule of
law, dan pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat (baik langsung maupun tidak
langsung) juga merupakan norma-norma dasar dalam demokrasi.
Sementara
itu, komponen prosedural demokrasi antara lain adalah sistem perwakilan,
pola-pola pemilihan dan rotasi yang berkala atas mereka yang diberi
amanat/mandat oleh rakyat, adanya pemisahan kekuasaan atas cabang-cabang
pemerintahan, penerapan mekanisme checks and balances antar lembaga negara,
partisipasi yang tinggi oleh warganegara dalam urusan publik, tata kelola yang
baik (good governance) dalam pemerintahan, dan sebagainya.
C. DEMOKRASI DALAM ISLAM
Wacana
tentang hubungan Islam dan demokrasi sering mendapat perhatian yang istimewa.
Mengenai demokrasi yang merupakan produk ciptaan Barat, perbincangan antara
Islam dan demokrasi sebenarnya secara tidak langsung menonjolkan wacana tentang
Islam dan Barat. Bahkan, penerimaan umat Islam terhadap nilai-nilai demokrasi
dianggap satu penghargaan dan dukungan Islam terhadap ide-ide Barat.
Pada
dasarnya, dalam berbicara mengenai konsep Islam dan demokrasi, kita tidak dapat
terikat dengan definisi yang rigid dan kaku. Sebagai contoh, Islam tidak dapat dibincangkan
dengan demokrasi jika sistem politik ciptaan barat itu disorot dari sudut
kebebasan individu dan kedaulatan manusia semata-mata. Begitu juga demokrasi
tidak dapat dibincangkan dengan konsep politik Islam jika konsep tersebut
dilihat hanya dari sudut kedaulatan Allah semata-mata. Justru, perbincangan Islam dan demokrasi harus dimulai dengan mencari
titik temu antara kedua sistem tersebut. Bagaimanapun, pencarian titik temu itu
tidak bermaksud untuk mencapai kesimpulan bahawa Islam dan demokrasi itu adalah
sama. Namun apa yang dapat kita katakan ialah bahwa Islam dan demokrasi
mempunyai beberapa persamaan yang dapat dikaitkan. Antara perkara yang dapat
ditawarkan dalam Islam ialah syura (perundingan), bay`ah (janji ketaatan
bersama), ijma’ (pemuafakatan), ijtihad (penterjemahan) dan maslahah
(kepentingan awam), kepelbagaian (al-ta`addudiyyah), pertanggungjawaban awam
(al-mas’uliyyah), ketulusan (shafafiyyah). Kesemua prinsip tersebut dapat
menunjukkan bahawa Islam tidak kurang dalam landasan-landasan asas yang serasi
dengan makna demokrasi.
Wacana
tentang Islam dan demokrasi telah menemukan berbagai reaksi dan pandangan.
Dalam hal ini, sekurang-kurangnya terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu
pertama, mereka yang menerima demokrasi dengan alasan Islam turut menyediakan
landasan demokratik seperti yang dinyatakan oleh Haddad. Golongan kedua menurut
Ahmad Bashir merujuk kepada mereka yang menolak demokrasi dengan alasan sistem
politik ciptaan Barat itu berlawanan dengan kedudukan Allah sebagai pembuat
hukum atau musyarri`. Demokrasi dikatakan memberi kebebasan sewenangnya kepada
manusia untuk menentukan hukum atau undang-undang. Lebih dari itu, konsep
theo-democracy, popular vice regency dan faraghat dalam wacana islam dan
demokrasi dianggap ‘agama baru’ yang dapat mendatangkan kemusyirikan kepada
Allah. Bagaimanapun, hasil perbincangan antara Islam dan
demokrasi secara ilmiah yang dipelopori oleh sebagian pemikir Islam, telah
memunculkan beberapa konsep yang secara dasarnya melihat hubungan antara kedua-duanya
secara lebih positif dan tidak kurang mengambil sikap yang cukup tegas. Konsep-konsep tersebut ialah
theo-democracy dan popular vicegerency yang dibawa oleh Maulana al-Mawdudi,
faraghat oleh Rashid Ghannounchi dan ‘Islam sebagai agama semi-demokrasi’ oleh
Niaz Faizi Kabuli. Konsep-konsep tersebut dikatakan telah menyumbang kepada
kelahiran tesis bahawa Islam telah menggariskan beberapa aturan (setting) dalam
hubungannya dengan demokrasi.
Menurut Al-Maududi (penggasas dan bekas pemimpin Jamaat Islami Pakistan), istilah teo-demokrasi adalah lebih tepat bagi sebuah negara Islam. Karena di dalam sebuah negara demokrasi Islam, rakyat akan memerintah berlandaskan batasan-batasan yang ditentukan oleh al-Quran dan sunnah Rasulullah saw.
Beliau telah menggariskan tiga prinsip utama dalam
sebuah negara Islam yaitu:
1. Tidak ada orang, golongan atau kelompok bahawa seluruh penduduk yang menempati dalam sebuah negara sekalipun dapat mengakui mempunyai kekuasaan dan kedaulatan. Hanya Allah pemilik kekuasaan dan kedaulatan yang sebenar. Semua yang lain adalah hamba-Nya.
1. Tidak ada orang, golongan atau kelompok bahawa seluruh penduduk yang menempati dalam sebuah negara sekalipun dapat mengakui mempunyai kekuasaan dan kedaulatan. Hanya Allah pemilik kekuasaan dan kedaulatan yang sebenar. Semua yang lain adalah hamba-Nya.
2. Allah pemilik undang-undang yang hakiki dan
kekuasaan mutlak membuat undang-undang adalah milik-Nya. Orang-orang Islam
tidak dapat membuat undang-undang yang bertentangan dan tidak dapat mengubah
undang-undang sembarangsn yang ditetapkan oleh-Nya walaupun semua orang
menyetujui untuk membuat undang-undang lain atau mengubah undang-undang Allah
3. Sebuah negara Islam harus didasarkan di atas
hukum yang diwahyukan Tuhan dalam segala sesi dan ruang lingkupnya. Kerajaan
yang memerintah sebuah negara Islam hanya dapat ditaati dalam tugasnya sebagai
badan politik yang dibentuk untuk melaksanakan undang-undang Allah, apabila ia
melanggar undang-undang yang diturunkan Allah, perintahnya tidak wajib ditaati
oleh orang-orang Islam.
Jelas di sini menunjukkan bahawa rakyat diberikan tanggungjawab sebagai khalifah atau pelaksana hukum Allah berlandaskan ajaran agama Islam yang ditunjang dengan al-Quran dan sunnah. Dalam konteks ini, manusia sebagai khalifah tidak memiliki hak melaksanakan sesuatu hukum undang-undang ciptaan sendiri selain undang-undang Allah apalagi menghapuskannya. Di dalam demokrasi Islam, prinsip Syura sangat diprioritaskan. Syura di sini adalah berasal dari perkataan “al-Musyawaratun” atau “Watasyawaru” yang memiliki arti mengemukakan pendapat. Definisi tersebut jelas menunjukkan bahawa pendapat sangatlah diutamakan dalam sebuah keputusan. Melalui prinsip ini peranan ummat atau rakyat Islam adalah penting di dalam perlaksanaan dan pembuatan sesuatu dasar yang berlandaskan al-Quran.
Jelas di sini menunjukkan bahawa rakyat diberikan tanggungjawab sebagai khalifah atau pelaksana hukum Allah berlandaskan ajaran agama Islam yang ditunjang dengan al-Quran dan sunnah. Dalam konteks ini, manusia sebagai khalifah tidak memiliki hak melaksanakan sesuatu hukum undang-undang ciptaan sendiri selain undang-undang Allah apalagi menghapuskannya. Di dalam demokrasi Islam, prinsip Syura sangat diprioritaskan. Syura di sini adalah berasal dari perkataan “al-Musyawaratun” atau “Watasyawaru” yang memiliki arti mengemukakan pendapat. Definisi tersebut jelas menunjukkan bahawa pendapat sangatlah diutamakan dalam sebuah keputusan. Melalui prinsip ini peranan ummat atau rakyat Islam adalah penting di dalam perlaksanaan dan pembuatan sesuatu dasar yang berlandaskan al-Quran.
Selain
daripada sistem Syura, terdapat satu lagi cara atau sumber ketiga yang menjadi
pegangan dalam perlaksanaan suatu undang-undang Islam yaitu ‘ijma’. Ijma’
didefinisikan sebagai persetujuan umat Islam menegenai hal keagamaan. Ia
merupakan persetujuan pendapat orang yang memiliki kesamaan secara rasional
ataupun mengikut hukum. Rasulullah
saw merupakan contoh terbaik dalam perlaksanaan sistem demokrasi Islam.
Demokrasi yang didukung Rasululllaah saw pada ketika itu tidak sama sekali
menidakkan hak rakyat. Namun demikian, hak tersebut terbatas menurut batasan
yang ditentukan oleh Allah. Soal pentadbiran dan perkara yang tidak ditetapkan
oleh syariah diselesaikan melalui musyawarah dikalangan ulama dan pemimpin Islam.
C.
Penutup
Dapat
disimpulkan di sini bahawa demokrasi yang berprinsipkan Barat yang mendokong
kuasa mutlak rakyat adalah berbeda dengan negara yang berdemokrasikan prinsip
Islam. Perbedaan tersebut adalah berdasarkan pegangan agama yang menggariskan batasan
tertentu dan undang-undang yang wajib diikuti mengikut syariat yang telah
ditetapkan-Nya. Manakala demokrasi dari pandangan Barat mempercayai bahawa
pelembagaan dan agama adalah dua sistem yang berbeda satu sama lain.
Demokrasi sebagai sebuah system Negara sekarang ini banyak dipakai oleh berbagai Negara yang ada di dunia termasuk juga Negara-negara Muslim. Dengan diterapkannya system demokrasi di Negara-negara Muslim menjadi obrolan atau pembahasan yang tak pernah habis dibahas oleh para tokoh politik maupun pemikir-pemikir lainnya. Permasalahan demokrasi Barat dan Islam ini menjadi semakin meruncing karena kompleksitas permasalahan Islam dan demokrasi ini sehingga mendorong para pengkaji atau peneliti kepada pembahasan dengan menggunakan satu atau beberapa macam pendekatan yang sangat spesifik. Dan dengan banyaknya pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat Muslim. Akibatnya, pembahasan tentang Islam dan demokrasi akan terus berkepanjangan, dan tak akan pernah kering.
Faktor lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan demokrasi sekuler adalah pandangan yang berlaku dalam hubungan internasional, yang menggambarkan Islam dan Barat sebagai kekuatan yang bertentangan. Hal ini menciptakan suatu mentalitas terkepung di kalangan umat Muslim, dan mengubah Islam menjadi sebuah alat perlawanan politik. Karena itu, wacana keagamaan menjadi sebuah elemen kunci dalam retorika masa perang, sebuah kenyataan yang terlukis dalam tuntutan-tuntutan keagamaan yang dibuat oleh Saddam Hussein yang sebenarnya sekuler selama Perang Teluk 1990. Sehingga permasalahan demokrasi dan Islam ini membuat sebagian orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip Islam semakin takut kepada demokrasi. Hal tersebut kelihatannya seperti sebuah paradoks, tetapi umat Muslim kenyataannya memuji demokrasi sebagai sistem politik terbaik. Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti begitu banyak jajak pendapat yang telah menunjukkan bahwa umat Muslim ingin hidup di sebuah masyarakat demokratis: mereka memuji pemilihan umum yang bebas, kebebasan berpendapat, dan hak-hak asasi manusia. Dan banyak juga Negara-negara mayoritas Muslim menerapkan system demokrasi seperti Negara kita Indonesia. Di saat bersamaan, umat Muslim mengakui pentingnya peran yang dimainkan syariah, atau hukum Islam, dalam kehidupan mereka. Di sinilah letak perbedaan pengertian yang sering terjadi antara umat Muslim dan non-Muslim dalam pembahasan tentang demokrasi. Sehingga timbul demokrasi versi Islam.[]
Demokrasi sebagai sebuah system Negara sekarang ini banyak dipakai oleh berbagai Negara yang ada di dunia termasuk juga Negara-negara Muslim. Dengan diterapkannya system demokrasi di Negara-negara Muslim menjadi obrolan atau pembahasan yang tak pernah habis dibahas oleh para tokoh politik maupun pemikir-pemikir lainnya. Permasalahan demokrasi Barat dan Islam ini menjadi semakin meruncing karena kompleksitas permasalahan Islam dan demokrasi ini sehingga mendorong para pengkaji atau peneliti kepada pembahasan dengan menggunakan satu atau beberapa macam pendekatan yang sangat spesifik. Dan dengan banyaknya pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat Muslim. Akibatnya, pembahasan tentang Islam dan demokrasi akan terus berkepanjangan, dan tak akan pernah kering.
Faktor lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan demokrasi sekuler adalah pandangan yang berlaku dalam hubungan internasional, yang menggambarkan Islam dan Barat sebagai kekuatan yang bertentangan. Hal ini menciptakan suatu mentalitas terkepung di kalangan umat Muslim, dan mengubah Islam menjadi sebuah alat perlawanan politik. Karena itu, wacana keagamaan menjadi sebuah elemen kunci dalam retorika masa perang, sebuah kenyataan yang terlukis dalam tuntutan-tuntutan keagamaan yang dibuat oleh Saddam Hussein yang sebenarnya sekuler selama Perang Teluk 1990. Sehingga permasalahan demokrasi dan Islam ini membuat sebagian orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip Islam semakin takut kepada demokrasi. Hal tersebut kelihatannya seperti sebuah paradoks, tetapi umat Muslim kenyataannya memuji demokrasi sebagai sistem politik terbaik. Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti begitu banyak jajak pendapat yang telah menunjukkan bahwa umat Muslim ingin hidup di sebuah masyarakat demokratis: mereka memuji pemilihan umum yang bebas, kebebasan berpendapat, dan hak-hak asasi manusia. Dan banyak juga Negara-negara mayoritas Muslim menerapkan system demokrasi seperti Negara kita Indonesia. Di saat bersamaan, umat Muslim mengakui pentingnya peran yang dimainkan syariah, atau hukum Islam, dalam kehidupan mereka. Di sinilah letak perbedaan pengertian yang sering terjadi antara umat Muslim dan non-Muslim dalam pembahasan tentang demokrasi. Sehingga timbul demokrasi versi Islam.[]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Annahwy, Adnan Ali Ridha, Syura bukan
Demokrasi, Kuala Lumpur: Polygraphics, 1990
Al-Imam, Abu Nasr Muhammad, Menggugat Demokrasi
Dan Pemilu, Jakarta: Darul Qolam
Press, 2005
Press, 2005
Demokrasi ala Barat dan Islam, (diakses dari situs http://shanteeve.blogspot.com/ pada 2
Januari 2009
Januari 2009
Esposito, John L., Islam and Democracy, New York:
Oxford University Press, 2000
Haddad, Y.Y., Islamist and the Challenge of Pluralism, Washington: Georgetown University,
1995
Rosyada, Dede, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan
masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, Cetakan II, 2005
Haddad, Y.Y., Islamist and the Challenge of Pluralism, Washington: Georgetown University,
1995
Rosyada, Dede, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan
masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, Cetakan II, 2005
Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi:
Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta: Penerbit
Republika, 2004
Republika, 2004
Zain, Mohd Izani Mohd, ‘Demokrasi dan Dunia
Islam: Perspektif Teori dan Praktik’, Kuala
Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2005
Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2005
* Catatan Yang Tertinggal
Sang Anonyms
0 komentar:
Posting Komentar