Oleh : Usep Mujani
Pemuda Indonesia kini, adalah
sebuah generasi baru. sebagian besar lahir dan dibesarkan setelah ‘revolusi
bambu runcing’ berakhir. Sehingga, mereka hidup dan dimatangkan dalam
lingkungan alam kemerdekaan, di zaman yang relatif ‘damai’ yakni disaat-saat
pengisian bukan lagi perjuangan. Oleh karena itu, kita pun mafhum bahwa pola
hidup, cara berpikir dan mentalitas pemuda terpaut jauh jika harus menoleh
kembali sejarah sumpah pemuda yang diikrarkan pada tahun 1928 lalu.
Sejarawan Taufik Abdullah,
memberikan konsepsi menarik terkait pemuda;
“Pemuda atau generasi muda, adalah
konsep-konsep yang sering diberati oleh nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena
keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah tetapi sering lebih merupakan
pengertian ideologis dan kulturil. ‘pemuda harapan bangsa’, pemuda pemilik masa
depan’, atau ‘pemuda harus dibina’ dan lain sebagainya, memperlihatkan betapa
saratnya nilai yang begitu melekat pada kata pemuda tersebut” (Taufik Abdulah:
1974).
Konsepsi yang dicatat oleh
Taufik Abdullah sekurang-kurangnya memberikan pemahaman bahwa term pemuda tidak
hanya melekat pada usia tertentu, melainkan jauh dari itu, sebagai jiwa yang
melahirkan perubahan dan sebagai ‘harapan’ bangsa disisi yang lain. Sejatinya,
pemuda indonesia merupakan komponen bangsa yang hadir sebagai ikon perubahan.
Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, peran pemuda selalu menjadi awal
inspirasi bangkitnya berbagai gerakan perlawanan terhadap bentuk kolonialisme
dan imperialisme dari kerajaan Belanda maupun kekaisaran Jepang.
Terbentuknya Budi Utomo sebagai
organisasi modern pertama di Indonesia, merupakan tonggak lahirnya kabangkitan
nasional. Keberhasilan tersebut dapat kita lihat pada momentum sumpah pemuda
yang kita renungkan bersama hari ini. Selain itu, heroisme perlawanan yang
dipelopori pemuda terhadap Jepang dan sekutu tahun 1945-an dan masa revolusi 1966-an
terbukti memberikan peran sentral bagi pemuda. Tidak sampai disitu, gejolak
perlawanan dan aksi pemuda dalam mengawal dan mengoreksi segala kebijakan orde
baru pun telah teruji pada Mei 1998.
Dari romantisme pemuda diatas
setidaknya didapati benang merah yang wajib kita catat bersama, bahwa pemuda
dari masa ke-masa telah teruji sebagai ujung tombak dari perubahan dan
pergerakan nasional. Tentu saja kita mustahil lupa atas dialektika sejarah
tersebut.
Gagasan sumpah pemuda merupakan
ruh atas keinginan membentuk Indonesia sebagai negara-bangsa (nation state).
Konsep sumpah pemuda sejatinya sejalan dengan apa yang dikemukakan Ernest Renan
sebagai ikhtiar menyoal bangsa. Bahwa cikal bakal terbentuknya bangsa lebih
karena adanya kesamaan nasib dan penderitaan, serta adanya semangat dan tekad
yang kuat untuk berhimpun dalam sebuah natoin (Tardjo Ragil: 2009).
Sumpah pemuda 1928, yang
didalamnya termaktub ikrar berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu;
Indonesia. merupakan titik kulminasi dari kegelisahan pemuda, merefleksikan dan
mengaktualisasikan kembali muatan nilai yang tersirat didalamnya harus kita
pahami sebagai bagian dari proses memaknai dan memberikan pengertian atas
bangunan perjuangan yang kita jalani sekarang ini.
Narasi
Mati Sumpah Pemuda
Sayangnya, hanya sebagian kecil
saja yang masih merasakan atmosfer kegagahan pemuda, eksistensi pemuda melebur
tergilas zaman. Pemuda dan cerita-cerita heroiknya kini hanya tersimpan abadi
disetiap museum. Sumpah Pemuda yang seharusnya tetap hidup dalam setiap
ubun-ubun generasi muda dalam perjalanannya telah berubah menjadi ‘rumah
tontonan’ belaka.
Jiwa perkasa pemuda telah
bertransformasi menjadi narasi yang mati, menjadi tontonan kolosal, bahkan
pemuda dan sumpahnya telah menjadi komoditas politik bagi “para tongkang
berdasi”. Ironi kematiannya disenandungkan bersama sebagai lagu pengantar tidur
anak cucu kita. Ironisnya, Sumpah pemuda dengan tanpa kompromi ditempatkan
sebagai seremonial tahunan tanpa didorong untuk memahami makna yang
dikandungnya. Alenia diatas seperti fiksi, semacam kegelisahan yang dibumbui
metafora. Namun begitulah adanya, kami mengada-ada yang memang ada terlihat,
terasa dan terpikirkan.
Kami pun merasa perlu untuk
memaparkan secar singkat realita pemuda pada konteks sekarang, suka atau tidak
suka dalam banyak hal makna pemuda telah mengalami pergeseran yang amat
memprihatinkan.
Jika dahulu pemuda turut
menggagas kebersatuan bangsa, maka hari ini justru pemuda menjadi pemecah
kebersatuan itu. Sendi kehidupan mereka telah dijejali sikap rasisme, maka
tidak heran jika ‘pemuda bandung’ sampai hari ini tetap bermusuhan dengan
‘pemuda jakarta’. Selain itu, dari sekian banyak episode kasus terorisme, kita
pun maklum bahwa hampir seluruhnya diperankan oleh pemuda. Mereka telah menjadi
martil bagi kepentingan golongan tertentu. Senandung keberpihakan pada rakyat
yang selalu menghiasi karya-karya pemuda sudah jarang terlihat. Sebaliknya,
kini mereka lebih senang memikirkan bagaimana caranya senandung rakyat berpihak
padanya.
Narasi diatas hanyalah
beberapa, sebagian yang lain biarlah menjadi rahasia kita bersama. Namun satu
hal, coba pikirkan dengan seksama, apa yang sebenarnya telah terjadi pada
pemuda bangsa ini?
Demikianlah kematian narasi
yang kami maksud, Sumpah pemuda kini telah berubah menjadi langue tertutup
tidak lagi diposisikan sebagai parole yang tetap hidup. Mungkin kita pun sadar
bahwa dari tahun ke tahun sumpah pemuda dilewati sebagai upacara seremonial
belaka, tanpa didorong untuk membubuhkan semangat juangnya pada generasi sekarang
ini.
Pemuda
dan Tanggung jawab Perubahan
Belajar dari Ki Hajar
Dewantoro, pemuda harus memiliki sifat Ing
Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani. Artinya Pemuda harus berada di garda paling
depan dalam melakukan perubahan sosial sebagai lokomotif perubahan. Di tengah
pemuda harus bahu-membahu bersama rakyat dalam mencapai kesejahteraan rakyat.
Keadaan yang buruk ini harus segera diakhiri. Dibelakang pemuda harus mampu
memberikan stimulus pada rakyat dalam menuju perubahan kearah yang lebih atau
yang dijanjikan oleh kemerdekaan dapat tercapai jika dalam setiap derap langkah
kita diwarnai oleh rasa kesatuan dan kesadaran akan tanggung jawab perubahan
tersebut.
Soe Hok Gie meringkas tanggung
jawab tersebut dalam catatannya bahwa “Dalam masa pergerakan nasional, kaum
intelegensia mempunyai tugas; merebut kemerdekaan dengan solidaritas pada
rakyat” (Soe Hok Gie: 2005). Kaum inlegensia yang demikian dapat dikatakan
sudah memenuhi dharmanya.
Keniscayaan gobalisasi memang
membuat dunia seolah-olah tampak seperti global village, sebuah kampung manusia
dari berbagai suku dan bangsa saling berkompetisi guna menjaga eksistensinya.
Realitas ini adalah persaingan, bangsa yang mememiliki pertahanan yang kuat
maka dengan sendirinya akan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain (Adhiyaksa
Dault: 2007)
Menyemai sikap nasionalisme
serta semangat kesatuan dalam jiwa pemsuda menjadi modal penting dalam realitas
perseteruan global. tanpa pemahaman yang konprehensif tentang kondisi nasib
bangsa saat ini akan menjadi taruhan masa depan generasi Indonesia. Karena
bangsa ini tidak memiliki pilihan kecuali terjun dalam sebuah keniscayaan
globalisasi,
namun, Sangat janggal rasanya
ketika agent of change tersebut
hanyalah menjadi penonton atas perubahan besar yang telah berhasil
dikontribusikannya. Hendaknya pemuda bukan lagi hanya sekedar agent
of change, tetapi juga sebagai direct
of change yakni yang menjalankan perubahan tersebut menuju kekokohan
ketahanan nasional sebuah negara (Dr. Azis Syamsudin: 2009). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kedua aspek tersebut merupakan suatu keseluruhan yang
harus dipenuhi secara serasi dan seimbang sehingga cita-cita perubahan sosial
dapat terwujud dan kontinyu .
Tantangan Nyata HMI Cabang
Ciputat
Pasca tahun 60-an HMI sebagai
salah satu dari organisasi kepemudaan tak lebih bermakna sama dengan yang lain.
Ciputat sebagai sarang pemuda-pemuda akademis dan komunitas-komunitas
intelektual sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Padahal, basis
intelektualitas merupakan prasyarat penting bagi setiap perjuangan pemuda.
Penyadaran semangat intelektualitas inilah merupakan bagian dari komitmen
alamiah dalam perjuangan menegakan kebenaran, sebagai ikhtiar membangun
diskursus kritis serta sebagai upaya menciptakan ruang publik yang ilmiah dan
terbuka.
Basis yang lain adalah
pengambilan jarak (distance) pada aspek-aspek politis dengan tetap
mempertahankan perspektif kritis dalam mengawal segala kebijakan penguasa. Hal
ini memberikan tanda bahwa kita telah berdiri secara proporsional diatas misi
perhimpunan kita, yakni menjadi Insan akdemis, pencipta dan pengabdi. Terhadap
pandangan yang demikian ini, keterlibatan secara individual maupun komunal
dalam lingkaran politik praktis baik yang terjadi pada tingkatan nasional maupun
lokal tidak dapat dibenarkan sama sekali, karena bukanlah capaian utama, yang
menjadi capaian utama para pemuda adalah terbentuknya masyarakat madani (civil
society) yang kuat, berdaulat, mandiri serta mampu mengimbangi kekuasaan negara
(state).
Jika kedua basis diatas disemai
secara terus-menerus, maka dengan sendirinya HMI Cabang Ciputat akan kembali
menjadi sebuah gerakan sosial yang selalu menempatkan aktifitas intelektual
sebagai kekuatan utama.
Tantang lainnya adalah belum
terbentuknya sikap berani mengambil sikap (ijtihad) dan include dalam
penyelesaian masalah-masalah bangsa. Ijtihad yang dimaksud tidak lain adalah
seperangkat pernyataan kritis beserta penyelesaian taktis yang telah
disesuaikan dengan kondisi objektif yang dihadapi. Tentu saja gagasan ini pasti
memunculkan bermacam-macam tanggapan, baik itu positif maupun negatif. terlepas
dari hal itu, esensi ijtihad itu sendiri adalah dialog, adanya ruang diskursus
dan dialektika antara pemikiran generasi yang hadir secara bersamaan. Kebiasaan
ini dengan sendirinya akan melahirkan kader-kader yang memiliki kepekaaan
sosial, dan berjiwa leader dalam kehidupan bermasyarakat.
Terakhir, mengambil momentum
peringatan hari sumpah pemuda yang ke-83 ini, sudah saatnya HMI Cabang ciputat
sebagai institusi menunjukan peranannya kembali, bukan lagi sebagai mobilitator
penggulingan rezim diktator, melainkan sebagai agent of change sekaligus
sebagai direct of change dalam perubahan sosial dan—meminjam istilah Anis
Baswedan—sebagai upaya kita dalam ‘melunasi’ janji-janji kemerdekaan. Kesadaran
tersebut insyaallah, membuka jalan baru bagi Indonesia maju, sejahtera dan
berkeadilan sosial.
Pada tahapan inilah kami
berkesimpulan bahwa posisi HMI Cabang Ciputat sebagai rahim para pemikir
dipertaruhkan.
Terimakasih.