About

Email : Kritik dan Sarannya ditunggu d.haryanto88@gmail.com

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 10 Agustus 2015

Pilkada; Antara Politisi, Janji dan Korupsi

Pilkada serentak 2015
Pemilihan kepala daerah atau yang biasa dikenal dengan istilah pilkada telah dilaksanakan dibeberapa tempat dan akan disusul pula oleh beberapa tempat yang lain. Pilkada digunakan sebagai wadah “bertarung”nya para politisi yang dianggap mumpuni untuk menjadi pemimpin. Politisi adalah nama lain dari “politikus”, yang berasal dari bahasa Inggris, “Politician”, artinya “pelaku politik”, yang bisa juga dikatakan yakni orang-orang yang terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis, seperti pengurus/ aktivis partai politik, para pejabat negara, orang-orang yang duduk di lembaga pemerintahan, dsb.
Perhelatan pilkada itu bukan saja akan selalu diramaikan dengan banyaknya para politisi yang akan “bertarung”, tetapi juga dengan maraknya janji-janji politik yang siap dimuntahkan para politisi dan partainya. Tentu saja semua itu tidak menjadi masalah, seandainya janji-janji politik itu dapat diaplikasikan dalam praktek politik kemudian. Akan tetapi, yang sering kita dapati adalah seringkali terjadinya ketidaksesuaian antara janji-janji kampanye dengan prakteknya.
Dalam tekhnis pelaksanaannya, pilkada diadakan untuk memilih dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin bagi masyarakatnya dan diberikan kewenangan mutlak untuk menentukan kebijakan-kebijakan di daerahnya masing-masing. Agenda lima tahunan ini telah dilaksanakan di Indonesia sejak beberapa tahun silam. Pilkada menjadi ajang kompetisi bagi para politisi untuk bisa menjadi pemenangnya. Para politisi dalam pilkada ini berjuang keras agar mendapat simpati dari pemilihnya sehingga para politisi banyak mengumbar janji-janji sebelum mereka terpilih walaupun pada kenyataannya janji-janji tersebut sulit ditepati ketika mereka sudah terpilih nantinya.
Di masa kampanye para politisi kerap melontarkan janji, namun dikala mereka sudah berkuasa, janji-janji yang pernah disampaikan itu terkadang sama sekali tak ditunaikan. Janji-janji mereka sering dituangkan dalam visi-misi yang tertata rapi ditambah pula untuk lebih meyakinkan para pemilhnya, mereka tak sungkan untuk melakukan kontrak politik dengan para pemangku kepentingan agar nantinya para politisi tersebut dapat memuluskan niatnya untuk bisa jadi pemenang. Namun kita tahu, rata-rata karakter politisi suka lupa janji kalau mereka sudah jadi. Yang tak kalah menarik untuk kita cermati lebih jauh adalah banyaknya soal janji-janji politik yang mengatakan tidak pada korupsi namun pada akhirnya korupsi itu malah “dinikmati” secara sembunyi-sembunyi baik sendiri ataupun bersama-sama.
Dalam kenyaataannya dimana pilkada dilaksanakan, korupsi selalu membuntuti dibelakangnya. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga tak dapat di pungkiri korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Menurut pendapat Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Sehingga dengan alasan apapun korupsi tak dapat dibenarkan atau bahkan dibiarkan tanpa adanya perlawanan.
Politisi yang berkompetisi dengan janji-janji yang diumbar disana-sini dan tak ketinggalan pula korupsi yang terus membayangi adalah tiga serangkai yang sulit dipisahkan. Benih-benih korupsi itu bisa jadi sudah ada dari sejak poitisi itu melangkahkan kakinya di dunia politik atau bahkan jauh sebelum itu. Mengapa demikian? karena pada saat kampanye, mereka sering melakukannya lebih awal dari waktu yang ditentukan, ini boleh dikatakan sebagai korupsi waktu yang diberikan. Selain itu juga, mereka harus mengeluarkan modal yang besar untuk promosi atau kampanye diberbagai media, media elektronik ataupun media cetak agar mereka bisa dikenal luas oleh masyarakat. Dan tak ketinggalan pula untuk mengawal suaranya pada saat pemilu, sehingga agar tidak sampai terjadi kecurangan dalam proses penghitungan maupun pencatatan, maka mereka harus mengeluarkan biaya saksi yang jumlahnya tidak sedikit juga untuk mengawal proses terse
but dan belum lagi seperti kita ketahui bersama bahwa hukuman bagi para koruptor yang tergolong sangat ringan sehingga mengakibatkan korupsi sulit dihindari.
Dan harapan penulis dan tentunya juga menjadi harapan masyarakat di negeri ini adalah Jangan jadikan pilkada ini hanya sebagai kompetisi basa-basi yang dengan mudahnya memaparkan janji-janji lewat visi-misi tapi tak dibarengi dengan tindakan yang pasti setalah nantinya sudah terpilih. Dan tak kalah pentingnya bagi para politisi, apabila mereka nantinya sudah jadi, mereka dapat menghindari perilaku korupsi yang sangat meresahkan semua masyarakat di republik tercinta ini.

diambil dari :
(http://www.kompasiana.com/hamid_borneo/pilkada_552fb90f6ea83458268b4597)