Teologi, sebagaimana di dalam Encyclopaedia of Religion and
Religions yang berarti "ilmu yang membicarakan tentang kajian ketuhanan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali bahasannya diperluas
mencakup keseluruhan bidang agama." Dalam pengertian ini agaknya perkataan teologi lebih tepat
dipadankan dengan istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu
kalam atau ilmu tauhid.
Istilah fiqih
di sini bukan dimaksudkan ilmu
fiqih sebagaimana
kita pahami selama ini, melainkan istilah
fiqih seperti yang
pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam Abu
Hanifah, Bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar yang isinya
bukan tentang ilmu
fiqih, tapi justru tentang aqidah yang menjadi obyek
bahasan ilmu kalam
atau tauhid. Boleh jadi, ilmu
fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka pemikiran
Imam Abu
Hanifah adalah al-fiqh-u 'l-ashghar. Sebab,
keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid maupun ilmu fiqih pada
dasarnya adalah fiqih atau
pemahaman yang
tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut
bidang ushuliyah
(tentang yang prinsip atau yang pokok),
sedangkan yang kedua meyangkut
bidang furu'iyah (detail atau cabang). Akan tetapi
perjalanan sejarah dan
tradisi keilmuan Islam telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana
dipergunakan Imam Abu
Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya
ingin dikatakan bahwa
pemakaian istilah teologi mempunyai alas an cukup kuat,
sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih utuh dan lebih
terpadu.
Pijakan tulisan
ini tentang teologi
al-Qur'an. Kita tentu sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur'an adalah
ide tauhid. Pertanyaan
yang perlu kita
munculkan, bagaimana sebaiknya kita
memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu dalam kehidupan
kita sebagai muslim? Dalam pengalaman kita--sekurang-kurangnya
sebagian dari kita-- mengenal atau pernah diberi
pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu tersebut,
pertama-tama kita diperkenalkan
dengan apa yang disebut sebagai "hukum
akal." Hal ini bisa kita
baca dalam buku-buku ilmu
tauhid, dari yang sangat
tradisional hingga yang termasuk
modern seperti buku
Risalah Tawhid karya Muhammad Abduh,
misalnya. Melalui kategori-kategori yang dirumuskan sebagai hukum akal itu, yakni: wajib,
mustahil dan harus,
kita diajak memahami
tentang konsep ketuhanan
dan kenabian. Maka
kita pun mengetahui
sifat-sifat Tuhan dan Nabi-nabi, baik
yang dikategorikan sebagai sifat-sifat
yang wajib, sifat-sifat
yang mustahil maupun
sifat-sifat yang harus. Masalah-masalah lain
seperti kepercayaan tentang malaikat, kitab-kitab
wahyu, hari akhirat maupun qadla dan qadar, adalah
kelanjutan atau pelengkap
dari kepercayaan terhadap Tuhan
dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan di sekitar
hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu tauhid.
Jelas sekali
pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat dalam ilmu
tauhid sangat intelektualistik sifatnya. Lebih-lebih
kalau kita memasuki pembahasan
yang lebih rumit,
terutama ketika membicarakan sifat-sifat
Tuhan, yang selama ini
dikenal sebagai "sifat dua puluh." Dalam membahas
sifat dua puluh itu, muncul berbagai konsep seperti sifat nafsiyah,
Salbiyah, ma'ani dan
sifat ma'nawiyah. Juga dikemukakan pembahasan
tentang kaitan atau
ta'alluq sifat-sifat Tuhan dengan alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang
ta'alluq
ma'iyah,
ta'alluq ta'tsir, ta'alluq
hukmiyah, ta'alluq bi 'l-quwwah, ta'alluq shuluhi
qadim, ta'allaq tanjizi qadim, ta'alluq
tanjizi hadits. Kebanyakan dari
kita tentu tidak akrab dengan
istilah-istilah atau konsep -konsep tersebut.
Dengan mengemukakan
hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya teologi yang
dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan
dunia praktis, dengan problematika kemanusiaan. Teologi
semacam itu adalah teologi
yang steril dan mandul.
Ia tidak mempunyai relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi
semacam itu tidaklah membuahkan
elan vital (gairah
hidup). Ia tidak melahirkan innerforce
(kekuatan batin), moral
maupun spiritual, yang
membuat kita bergairah
dalam aksi untuk membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita dari
segala bentuk
kemusyrikan.
BENTUK-BENTUK
KEMUSYRIKAN
Dalam
memahami ide tauhid, ada baiknya
bila kita memahami apa-apa yang
oleh al-Qur'an dianggap
sebagai syirik atau kemusyrikan. Al-Qur'an
mengemukakan dua ciri
utama dari kemusyrikan,
yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik atau sekutu,
dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad
atau saingan. Kedua
ciri utama itu
wujud dalam berbagai bentuk manifestasi.
Kalau
kita mendengar perkataan syirik
atau kemusyrikan yang segera terbayang dalam angan-angan kita biasanya penyembahan berhala,
seperti dilakukan para penganut agama-agama
"pagan."
Dan memang
al-Qur'an sendiri menyinggung
bahkan mengecam orang-orang yang
menjadikan berhala sebagai
ilah atau sesembahan (QS. 6:74; 7:138; 21:52). Selain berhala
al-Qur'an juga
mengemukakan hal-hal lain
yang bisa dijadikan
obyek sesembahan selain
Tuhan, misalnya penyembahan
benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang (QS.
41:37) atau benda-benda mati
lainnya (QS. 4:117). Juga disinggung adanya penyembahan makhluk
halus seperti jin
(QS. 6:101) atau tokoh-tokoh yang
dipertuhan atau dianggap
mempunyai unsur-unsur ketuhanan
(QS. 4:171; 5:116;
6:102; 19:82-92; 16:57; 17:40
dan 37:49).
Berkenaan dengan penyembahan berhala, benda-benda
langit atau benda-benda
mati lainnya, atau penyembahan makhluk halus
atau manusia yang
dipertuhan, kiranya dari segi keberagamaan kita sebagai muslim,
bukanlah persoalan yang
masih memerlukan perhatian lebih
banyak. Masalahnya sangat jelas dan karena itu menghindarinya pun
sangat mudah. Akan
tetapi masalah kemusyrikan tidak
berhenti sampai di
situ saja. Al-Qur'an masih mengemukakan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah kemusyrikan, yang
lebih halus sifatnya, terutama berkaitan dengan ciri
kemusyrikan yang menempatkan adanya
andad atau saingan terhadap
Tuhan, bukan dalam
bentuk penyembahan melainkan dalam
bentuk kecintaan (QS. 2:165). Dalam kategori ini bisa
dimasukkan juga sikap ketaatan yang sama sekali tanpa reserve terhadap
ulama (QS. 9:31)
atau sikap fanatisme golongan, aliran
atau juga organisasi yang
berlebih-lebihan (QS. 23:52-53; 30:31-32).
Hal-hal
lain yang oleh al-Qur'an
dijadikan contoh sebagai saingan Tuhan
dalam kaitannya dengan kecintaan kita adalah keluarga dan
kerabat dekat kita,
kekayaan, usaha atau bussiness kita, dan rumah-rumah mewah kita (QS. 9:24).
Selain itu masih ada
satu hal lagi yang oleh
al-Qur'an disebutkan sebagai
"sesuatu yang bisa menjadi ilah atau sesembahan kita," yaitu hawa
nafsu kita sendiri (QS.25:43).
Berbagai
bentuk manifestasi kemusyrikan tersebut, sebagaimana dikemakakan al-Qur'an, menunjukkan bahwa masalah kemusyrikan bukanlah
sesuatu yang sederhana, karena itu usaha kita menjadi orang yang
benar-benar bertauhid bukanlah masalah yang mudah.
KESERAKAHAN
DAN KETIDAKPEDULIAN SOSIAL
Suatu hal
yang sangat menggoda
untuk direnungkan adalah, justru pada
surat-surat atau ayat-ayat
yang diwahyukan di masa-masa permulaan kenabian
Muhammad saw tidak
terdapat kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ada malah
kecaman terhadap keserakahan
dan ketidakpedulian sosial.
Untuk memperjelas hal
ini ada baiknya bila lebih dahulu
dikemukakan tentang periodisasi turunnya al-Qur'an.
Seperti kita ketahui masa turunnya al-Qur'an dibagi
dalam dua priode: periode
Mekkah (610-622 M.)
dan periode Madinah (622-632 M.).
Periode Mekkah sendiri juga
dibagi dalam tiga tahap, tahap Mekkah
awal (610-615 M.),
tahap Mekkah pertengahan
(616-617) dan tahap Mekkah akhir (618-622 M.).
Pada
masa
periode Mekkah awal
terdapat 48 surah
yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad saw. Di sini hanya diambil
12 surah paling
awal saja, yakni: (1) Surah al-'Alaq, (2) Surah al-Mudatstsir,
(3) Surah al-Lahab, (4) Surah
al-Quraysy, (5) Surah al-Kawtsar,
(6) Surah al-Humazah, (7) Surah
al-Ma'un, (8) Surah
al-Takatsur, (9) Surah al-Fil, (10) Surah
al-Layli, (11) Surah al-Balad, dan (12) Surah al-Insyirah. Sengaja hanya diambil 12 surah di atas, sebab surah yang ke-13 adalah Surah al-Dhuha. Beberapa
mufassir menceriterakan bahwa
Surah al-Dhuha turun
sesudah Nabi mengalami masa jeda di mana
wahyu terhenti beberapa
lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun atau diwahyukan
kepada Nabi pada masa-masa sangat awal
dari kenabian, atau
dari sejarah Islam.
Ke-12 surah
tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah penyembahan berhala.
Enam surah di
antaranya justru menyinggung masalah
keserakahan terhadap kekayaan
dan ketidakpedulian
terhadap orang-orang yang
menderita. Dalam Surah al-Lahab,
yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa harta kekayaan
dan usaha seseorang sama
sekali tidak akan menyelamatkannya dari hukuman di Hari Akhirat.
Tidak
berguna baginya kekayaannya, dan apa yang dikerjakannya! Akan dibakar ia
dalam api menyala
Surah
al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6,
dengan keras mengingatkan
akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah menumpuk-numpuk
kekayaan dan menganggap kekayaannya
itu bias mengabadikannya.
Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk harta kekayaan
dan menghitung-hitungnya. Ia menyangka
harta kekayaannya
bisa mengekalkannya.
Dalam
surah yang turun berikutnya, Surah al-Ma'un, orang-orang yang tidak
mempedulikan penderitaan anak-anak
yatim dan orang-orang miskin
dikualifikasikan sebagai orang-orang yang
membohongkan
agama.
Tahukah
engkau orang yang membohongkan agama Itulah
dia yang mengusir anak
yatim. Dan tidak
menganjurkan memberi makan orang-orang miskin.
Surah
berikutnya yang
turun dalam urutan
ke-8, Surah al-Takatsur, memberikan peringatan keras terhadap
orang-orang yang asyik
berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan.
Kalian
menjadi lalai karena perlombaan mencari
kemegahan dan kekayaan. Hingga
kalian masuk ke pekuburan.
Dalam Surah
al-Layli yang diwahyukan
dalam urutan ke-10 diberikan kabar
baik terhadap mereka yang suka
memberi dan sebaliknya
kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil.
Maka siapa
yang suka memberi dan bertaqwa. Dan membenarkan nilai kebaikan
Kami akan memudahkan baginya jalan kebahagiaan. Dan siapa
yang kikir dan
menyombongkan kekayaan. Dan mendustakan nilai kebaikan Kami akan mudahkan
baginya jalan kesengsaraan. Dan tiada berguna baginya kekayaannya ketika
ia binasa.
Yang
terakhir Surah al-Balad yang
diwahyukan dalam urutan ke-11, menyinggung
keengganan manusia memberikan
bantuan kepada sesamanya
yang hidup dalam
penderitaan dan kesengsaraan.
Dan Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia
menempuh jalan mendaki.
Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan
budak sahaya. Atau
memberi makanan di
masa kelaparan. Pada anak yatim yang punya tali
kekerabatan. Atau orang
papa yang terlunta-lunta.
Pesan-pesan al-Qur'an di atas, yang diwahyukan justru di
masa yang sangat
awal dari kenabian, sangat jelas dan
sama sekali tidak memerlukan
penafsiran. Ia memperlihatkan betapa, dalam al-Qur'an
masalah kekayaan, keserakahan dan
ketidakpedulian sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak sekedar masalah etik dan moral.
Ia langsung menyangkut kebertauhidan kita.
REFORMASI
SOSIAL
Anjuran
Nabi agar kita selalu memulai kegiatan dan kerja kita dengan ucapan
"Bismillahirrahmanirrahim"
(bism-i 'l-Lah-i 'l-rahman-i 'l-rahim),
memberikan suatu isyarat kepada
kita agar kita
menjadikan diri kita
sebagai perwujudan dari nilai-nilai rahmah
itu bagi sesama makhluk
Tuhan. Dengan perkataan lain apapun profesi
kita, motivasi dan
orientasi kita tidak boleh
bergeser dari ide untuk menciptakan –atau setidak-tidaknya menjadi
bagian dari proses
menciptakan-- suatu tata kehidupan yang dilandasi nilai-nilai rahmah itu.
Pertanyaan yang
mungkin timbul, bagaimana
kaitan antara sorotan tajam
terhadap kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial
dengan cita-cita tentang
reformasi sosial yang dilandasi semangat mewujudkan kehidupan yang penuh rahmah itu?
Kaitannya sangat jelas,
bahwa keserakahan dan ketidakpedulian sosial adalah yang menimbulkan suatu kehidupan yang tidak
disemangati nilai-nilai rahmah.
Karena itu reformasi sosial
mestilah ditandai, pertama-tama oleh distribusi kekayaan
yang adil. Itulah prioritas utama yang digumuli Nabi
dalam usaha mewujudkan reformasi sosial. (oleh : Djohan Effendi)
Semoga Pembaca mendapatkan Manfaatnya. Amin !!!