About

Email : Kritik dan Sarannya ditunggu d.haryanto88@gmail.com

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 13 Januari 2015

Lounching Jurnal Ma'arif “Politik Kebhinnekaan di Indonesia: Tantangan dan Harapan”

detakbanten.com-JAKARTA. Memasuki awal tahun 2015 kita dikejutkan oleh banyak peristiwa di dunia yang mengoyak perhatian dan rasa kemanusiaan kita. Pada Rabu, 7 Januari 2015 kemarin, kita menyaksikan kebrutalan orang-orang yang melakukan penyerangan dan pembunuhan di kantor redaksi Charlie Hebdo, Paris. Peristiwa menyedihkan ini mengakibatkan 12 orang tewas dan 10 lainnya luka. Menanggapi hal ini Ma’arif Institute adakan diskusi dan launching jurnal, Menteng (13/01).

Acara diskusi dan lunching jurnal tersebut dihadiri oleh Jalaluddin Rakhmat (Anggota DPR RI Komisi VIII), Pdt. Gomar Gultom (Sekretaris umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), dan Ahmad Fuad Fanani (Direktur Riset Ma’arif Institute) sebagai narasumber. Konteks permasalahan inilah yang menjadi alasan redaksi Jurnal MAARIF mengangkat tema "Politik Kebhinekaan di Indonesia: Tantangan dan Harapan" pada edisi terbaru ini, pukul 18.30-21.00 di Aula PP Muhammadiyah Jl. Menteng Raya  No. 62, Jakarta Pusat.

Kejadian penyerangan tersebut, menunjukkan bahwa penghargaan terhadap kebhinnekaan belum menjadi sikap hidup pada sebagian orang. Banyak orang-orang yang menyelesaikan perbedaan pendapat, perbedaan paham, dan ketidaksetujuan sikap dengan cara kekerasan dan bahkan pembunuhan. Negara punya tanggungjawab untuk memastikan semua warga negaranya dilindungi dan mendapat perlakuan yang sama.

Seperti yang di jelaskan oleh Anggota DPR RI komisi VIII salah satu narasumber acara tersebut. Indonesia memiliki modalitas sosial bahkan politik untuk mengembangkan kemajemukan bangsa secara lebih produktif dan berkeadilan.

“Kebhinnekaan yang merupakan sunnatullah belum menjadi jati diri dan sikap hidup banyak orang. Yang lebih ironis, sikap hidup yang menjunjung sektarianisme dan intoleransi justru banyak dijadikan acuan dan pegangan. Klaim tunggal kebenaran dan keinginan untuk memaksa orang lain mengikuti pendapatnya, sekalipun itu dengan paksaan, masih mendominasi wajah sosial, budaya, dan politik banyak orang di dunia” tegas Jalaluddin Rakhmat,

Begitupun bapak Gultom menambahkan penjelasannya dari statemen Jalaludin.Di tanah air, prinsip kebhinnekaan yang sejatinya sudah dicanangkan oleh the founding fathers and mothers bangsa ini dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, juga masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.

“Warisan pada masa lalu tentang bagaimana sikap negara yang belum tegas terhadap kelompok minoritas, kelompok yang berbeda dengan mainstream, dan kelompok yang terpinggirkan yang hingga hari ini belum terselesaikan. Kelompok-kelompok itu masih mengalami kesulitan dalam mengekspresikan keyakinan dan prinsip keagamaanya. Tak jarang mereka juga menerima kekerasan, baik verbal maupun non verbal. Padahal, Konstitusi Indonesia secara jelas menyatakan bahwa Negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan pada seluruh warganya” ujar Pdt. Gomar Gultom.

Meskipun politik kebhinnekaan Indonesia masih menghadapi banyak tantangan di masa depan, kita seharusnya masih tetap optimis dan mempunyai harapan. Kultur masyarakat Indonesia yang bisa hidup rukun dan damai bersama kelompok lainnya, adalah modal sosial yang tinggi bagi terciptanya politik kebhinnekaan. Model Islam Indonesia yang moderat dan sejuk yang berbeda dengan Islam ala Arab, juga merupakan modal besar bagi Indonesia untuk menyemai politik kebhinnekaan.

“Harapan itu juga tampak dari visi-misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang menempatkan intoleransi sebagai masalah pokok bangsa ketiga. Visi misi itu melihat bahwa konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi menyebabkan jati diri bangs a ini terkoyak. Harapan juga nampak dari langkah pro aktif Menteri Agama yang sering berdialog dengan tokoh agama dan kelompok minoritas untuk mencari solusi terhadap berbagai permasalahan sosial keagamaan. Kementerian Agama hari ini juga sedang menyiapkan undang-undang tentang perlindungan umat beragama” imbuh Ahmad Fuad Fanani.
Harapan terhadap politik kebhinnekaan juga terlihat dari banyaknya individu-individu dan institusi-instutusi di negeri ini yang masih percaya bahwa kebhinnekaan adalah berkah dan nilai kebaikan untuk membangun Indonesia yang lebih maju.


Senin, 05 Januari 2015

Resensi Film "Dibalik 98"

  Film Di Balik Pintu Istana yang menceritakan tentang jatuhnya orde baru (masa pemerintahan Soeharto) dan peristiwa yang menyertainya seperti demonstrasi mahasiswa, penculikan aktivis, dan kerusuhan Mei 1998 akan di tayangkan pada 15 Januari 2015.

Film yang bergenre Drama  ini diproduksi oleh MNC Pictures serta produsernya Affandi Abdul Rahman. Kemudian Lukman Sardi sebagai Sutradaranya, film tersebut memiliki durasi 106 menit dan ratingnya pun untuk para remaja. Agar para remaja tahu bagaimana perjuangan menjadi mahasiswa sesungguhnya.

Sedangkan para pemainnya yaitu, Chelsea Islan, Boy William, Alya Rohali, Agus  Kuncoro, Asrul Dahlan, Dian Sidik, Donny Alamsyah, Fauzi Baadilah, Ririm Ekawati, Verdi Solaiman, Panji Pragiwaksono, dan Teuku Rifnu Wikana.

Sinopsis : Jakarta 1998. Latar belakang krisis moneter membuat hampir semua orang menjadi panik dan berada dalam ketakutan. Warga kebingungan dengan situasi negara yang genting, gerakan gabungan mahasiswa seluruh Indonesia yang separatis dan terus menuntut turunnya presiden Soeharto.

Tragedi kelam bangsa ini. Ditengah kondisi yang penuh ketidakpastian, presiden Soeharto memutuskan untuk tetap pergi ke Kairo Menghadiri KTT G-15, Sementara itu wakil presiden B.J Habibie dikejutkan oleh insiden penembakan di Trisakti yang berbuntut pada terjadinya kerusuhan besar, kenapa hal ini bisa terjadi??

Di balik tragedi yang kelam itu ada kisah lain, kisah sebuah keluarga yang tercerai berai dan kisah sepasang kekasih yang terpisahkan. Puncaknya, pada 13-14 Mei, terjadi penembakan mahasiswa Trisakti yang dikenal dengan Tragedi Trisakti. Keadaan semakin pelik ketika seorang keturunan Tionghoa, Daniel dan pacarnya, Diana, ikut berjuang menuntut perubahan. Mereka kehilangan ayah dan adiknya dalam kerusuhan 14 Mei 1998. Bahkan Daniel hampir terjebak razia orang-orang nonpribumi.

Isu Mei 1998 mungkin dianggap masih sensitif bagi sebagian kalangan. Namun Lukman sendiri menilai Mei 1998 merupakan moment sejarah yang penting bagi Indonesia khususnya kaum pemuda. Menurutnya, banyak generasi muda saat ini yang saat peristiwa politik itu terjadi masih kecil atau baru lahir, sehingga ia ingin memulai langkah mengingatkan terjadinya peristiwa yang jangan sampai terulang kembali.

  "Saat itu banyak harapan yang hancur berantakan. Saat ini kita kan sedang mau mulai membangun lagi, dengan pemilu yang demokratis , jangan sampai dihancurkan lagi," ujar putra almarhum Idris Sardi ini.

Untuk riset film ini, Lukman melakukan banyak wawancara dengan banyak orang yang mengalami peristiwa Mei 1998, termasuk tokoh reformasi dan militer serta istana. selain itu Lukman juga meneliti buku tentang peristiwa terkait yang sudah diterbitkan ke masyarakat umum. "Jadi kalau ditanya, ini berdasarkan riset dan buku yang sudah diperjualbelikan, berarti sudah sah atas nama hukum. Gua nggak mau bikincerita dan conspiracy theory sendiri," Pungkasnya. (red-GN)


 By : Dwi Haryanto (red-DetakBanten.com)