Imaginasi Demokrasi Dalam Persepktif
Islam
Tulisan
ini sengaja diberi titel "angan-angan (imaginaire) sosial-politik
demokratik Piagam Madinah". Sedikitnya ada tiga alasan yang bisa
dikemukakan sebagai pertanggunganjawab dalam menentukan pilihan redaksi
tersebut berikut implikasi makna yang dikandungnya. Pertama, penulis
menyepakati suatu pendapat bahwa baik al-Qur'an maupun al-Sunnah, sebagai
sumber utama Islam, dalam berbagai teksnya tidak mengajarkan suatu bentuk atau
sistem pemerintahan (negara)[1]
tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Karena itu, penulis menyebut
“angan-angan sosial-politik”, bukan “sistem politik atau pemerintahan” Piagam
Madinah. Sumber Islam itu hanya memberikan pedoman ajaran berupa seperangkat
prinsip[2]
dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[3]
Prinsip-prinsip yang dimaksud bersifat universal sesuai dengan watak dasar
Islam yang transhistoris dan eternal. Demikian juga Piagam Madinah yang
dirumuskan Rasulullah SAW bersama warganya. Piagam ini sama sekali tidak
mencerminkan sebuah sistem negara atau pemerintahan yang baku, melainkan
menggambarkan sejumlah prinsip luhur yang penting bagi kemanusiaan dan keadilan
sosial. Sementara pola kenegaraan yang diterapkan Abu Bakar, Umar b. Khatab,
Usman b. Affan, dan Ali b. Abi Thalib, serta sistem-sistem negara lain yang
mengklaim Islam, semuanya juga tak ada yang bersifat imperatif dan teologis.
Keragaman tersebut semata-mata bersifat sosiologis-relatifis yang tidak
mengikat bagi umat Islam.
Selain
itu, terbukti bahwa sebuah sistem cenderung bersifat statis, mengekang dinamika
masyarakat yang selalu berubah, dan menghambat perkembangan dari masa ke masa,
terlebih lagi apabila sistem itu diwahyukan dan bersifat absolut. Tentu sifat
ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan prinsip fleksibelitas
agar bisa diterapkan di mana saja dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan
bagaimana saja (shâlih-un li kulli zamân-in wa makân-in wa ahwâl-in).
Sebagai angan-angan sosial-politik, Piagam Madinah tentu dapat menjadi
inspirasi politik bagi umat Islam untuk membangun tatanan kenegaraan yang
beretika dan bermoral. Pemahaman ini sejalan dengan prinsip universalitas
ajaran Islam yang memungkinkan Islam diamalkan di mana dan kapan saja. Karena
itu, benar apa yang dikatakan Munawir Sjadzali bahwa:
Islam tidak hanya mengatur soal
ibadah, tetapi juga hubungan antar manusia, misalnya Islam berbicara tentang
beberapa prinsip atau etika seperti musâwah (persamaan), 'adâlah (keadilan),
syûrâ (musyawarah) dan sebagainya. Tetapi,
Islam tidak menetapkan sesuatu sistem untuk menegakkan prinsip-prinsip
tersebut. Sebenarnya saya tidak mengatakan bahwa di dalam Islam tidak terdapat
sistem politik, tetapi Islam tidak mempunyai preferensi tentang sistem politik
yang mana. Apalagi para penggagas negara Islam kontemporer yang paling getol
pun tidak berbicara tentang sistem [negara] Islam.[4]
Bagi
penulis, prinsip dan tata nilai etika tersebut disebut angan-angan (imaginaire)
sosial-politik [Islam] yang demokratik.
Kedua, digunakan kata "demokratik" saja, bukan
"negara demokratik" atau "khilafah demokratik" atau
lainnya, karena angan-angan sosial-politik Islam--dalam asumsi penulis--tidak
menentukan kepastian sebuah bentuk [performa] negara apapun. Karena itu,
kebebasan merumuskan bentuk negara sebagai pelembagaan dan perwujudan nyata
dari angan-angan tersebut terbuka lebar bagi kesejarahan umat Islam.
Di
samping itu, menggunakan kata "negara" dewasa ini terasa mengerikan.
Sebab, performa negara sekarang jauh berbeda dengan istilah "negara"
yang digunakan para pakar untuk mengidentifikasi komunitas Madinah saat Nabi
SAW memimpin. Memang intelektual semacam Fazlur Rahman,[5]
Thomas W. Arnold, [6]
H.A.R. Gibb, W. Montgomery Watt,[7]
D.B. MacDonald, C. A. Nallino, Joseph Schacht, R. Strothmann,[8]
dan banyak pakar lain, dengan 'kaca mata' ilmu politik modern menganggap
komunitas Nabi SAW saat itu adalah sebuah "negara"; karenanya dalam
waktu yang bersamaan Nabi menurut mereka adalah pemimpin agama dan kepala
negara sekaligus. Tapi, penulis yakin mereka tidak akan menyamakan istilah
"negara" yang digunakan untuk komunitas Nabi saat itu dengan konsep
“negara” yang berlangsung dewasa ini. Sebab, realitas negara saat ini telah
memetamorposis menjadi sosok “makhluk” yang--seolah-olah--paling raksasa, paling
berkuasa, di atas bumi ini. Ia memiliki kewenangan (authority), kekuatan
(power), dan klaim (claim) yang hampir tak terbatas (unlimited),
termasuk terhadap "kebenaran". Bisa diilustrasikan, kalau hati
seorang beriman menyatakan bahwa di atas manusia tidak ada instansi lain
kecuali Tuhan, maka dalam kenyataannya, yang dirasakan oleh setiap manusia yang
beriman maupun kafir, di atas manusia yang secara riil ada dan benar-benar
terasa adanya adalah maha-instansi yang bernama "negara". Negara semakin
terasa menjadi pemeran sifat kemahakuasaan Tuhan sebagai al-Muhîth,
yang maha-meliput.[9]
Meminjam istilah yang digunakan Karl Marx untuk menyebut realitas negara
sekarang adalah suatu aparat atau mesin opresi (penindasan), tirani, dan
eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat-alat reproduksi (kaum kapitalis) dan
pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan kelas pekerja. "Negara"
yang demikian tentu bukan istilah yang tepat untuk menyebut komunitas Nabi SAW
saat itu dengan Piagam Madinahnya.
Untuk
kata "demokratis", para teorisi politik Islam memang terlalu
hati-hati untuk menyebut bahwa Islam itu "demokratis". Karena jika demokratis,
maka berarti Islam mengakui kedaulatan rakyat di mana otoritas Syari’at Islam
dapat dianulir oleh kesepakatan rakyat dalam lembaga perwakilan rakyat.
Kekhawatiran ini pernah menghantui pemikiran politik beberapa pemikir Islam,
seperti Abu A’la al-Maududi, Hasan al-Banna, dan Sayyid Quthb. Dalam pandangan
penulis tidak demikian, melainkan bahwa suatu komunitas jika demokratis, maka
tentu komunitas itu akan mempertimbangkan Syari’at Islam sebagai satuan hukum yang harus diperhatikan dalam
pengambilan keputusan. Karena, demokratis adalah proses pengambilan keputusan
untuk mewujudkan kehidupan bersama yang diangan-angankan dengan cara
partisipatif dan mempertimbangan pluralitas nilai yang berkembang dalam
masyarakat. Dengan pemahaman ini, bisa jadi demokrasi menjadi suatu keniscayaan
bagi kelompok Muslim manapun sebagai suatu cara untuk mengelola kehidupan
bersama yang beragam baik secara etnik, agama, ras, status sosial, gender,
maupun kepentingan.
Ketiga, diambil "Piagam Madinah" sebagai basis kajian
untuk mendapatkan wawasan tentang angan-angan sosial-politik demokratik dalam
tulisan ini, karena hampir semua pengkaji sejarah Islam mengakui bahwa
"Piagam Madinah" merupakan instrumen hukum-politik yang membuat
komunitas Islam dan non-Islam saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di
bawah kepemimpinan Nabi SAW. Bahkan, oleh sebagian pakar ilmu politik,
"Piagam Madinah" dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar
pertama bagi 'negara Islam' yang didirikan Nabi SAW di Madinah.
Yang
tak kalah menariknya untuk dikemukakan adalah latar sosial-budaya masyarakat
Madinah saat itu yang sangat plural. Penduduknya terbagi ke dalam
kelompok-kelompok etnik, ras, dan agama yang berbeda. Pada umumnya faktor ini
mendorong konflik yang tidak mudah diselesaikan, tetapi "Piagam
Madinah" mampu menjadi perekat unitas dari pluralitas tersebut. Diakui
juga oleh para pengkaji sejarah Islam bahwa model yang paling ideal dan
sempurna, par-exellence, dari kepemimpinan politik abad ke-7 M adalah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW karena keberhasilannya membangun komunitas
pluralis tersebut.[10]
Karena alasan-alasan inilah, penulis menjadikan Piagam Madinah sebagai basis
kajian untuk memperoleh kejelasan nilai normatif dan empirik Islam dalam
pergumulannya di tengah masyarakat pluralistik.
Islam dan
Negara-Bangsa: Kebutuhan Prinsip Kebangsaan
Sudah
menjadi pengetahuan umum, 14 abad yang lalu, Islam hadir dan berinteraksi
secara sosial-politik dalam lingkungan masyarakat komunal-sukuisme yang plural.
Pluralitas tersebut terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili
oleh berbagai golongan suku-bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama
dan keyakinan berbeda. Hasan Ibrahim Hasan, sejarawan Mesir, 'membaca' ada
empat golongan dominan saat itu, yakni [1] Muhajirin, [2] Anshar, [3] Kaum
munafik dan musyrik, dan [3] Kaum Yahudi yang tinggal di Madinah.[11]
Muhammad Zafrullah Khan juga menyebut empat golongan sosial, tetapi dengan
identifikasi yang berbeda: [1] Kaum muslimin, yang terdiri dari Muhajirin dan
Ansor, [2] Golongan Aus dan Khazraj yang keislamannya masih dalam tingkat
nominal, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi, [3] Golongan Aus dan
Khazraj yang masih menganut paganisme, tetapi dalam waktu yang singkat telah
menjadi muslim, dan [4] Golongan Yahudi yang terdiri dari tiga suku utama,
yaitu Banu Qainuqa, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah.[12]
Yang
penting menjadi catatan di sini adalah proses kreatif Nabi Muhammad. Selama
kurang lebih sepuluh tahun (622--632 M), Nabi Muhammad SAW mampu mencairkan
bangunan komunalisme tersebut menjadi sebuah komunitas yang berdaulat dan integrated.
Ia menawarkan suatu “gagasan baru” untuk membentuk tatanan “masyarakat baru”
yang kemudian disepakati menjadi pegangan hidup bagi “masyarakat kota” yang
dinamai Madinah, sebelumnya bernama Yatsrib. Konstruksi masyarakat saat itu
memang diakui masih sangat sederhana dan lokal setingkat perkembangan
peradabannya. Bentuk masyarakat lebih luas, lebih kompleks, dan lebih plural
tercapai semasa kepemimpinan al-khulafâ' al-râsyidûn dan sesudahnya.
Kawasan masyarakatnya bukan lagi kota Madinah an sich, melainkan telah
melikup seluruh semenanjung Arabia, Persia, dan menaklukkan seluruh wilayah
Asia di bawah Kekaisaran Romawi, kecuali Anatolia (Turki Modern).
Pada
kegamangan modernitas dewasa ini, Islam suka tidak suka harus berinteraksi
dengan sederetan fenomena yang secara global disebut negara-bangsa (nation-state).
Menghadapi ini, sungguh tidak mudah bagi kaum muslimin untuk mencernakan
keharusan historis secara interaktif. Kesulitan ini telah melahirkan polarisasi
pemikiran politik yang sangat beragam, khususnya pada tiga abad terakhir ini.
Munculnya para pemikir dan pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897
M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Sa'ad
Zahlul (1867-1927), Muhammad Husein Haikal (1888-1956 M)[13],
Thaha Husayn (1888-1966), Ali Abd al-Raziq (1888-1966)[14],
Abu al-'Ala al-Maududi (1903-1979)[15],
dan Sayyid Quthb (1906-1968 M), yang kemudian melahirkan apa yang disebut oleh
pengamat sebagai “Islam fundamentalis”, “Islam modernis”, “Islam
tradisionalis”, “Islam sosialis”, “Islam sekularis”, dan “Islam nasionalis”,
adalah bentuk-bentuk nyata dari interaksi tersebut. Adalah tetap relevan untuk
memperbincangkan kaitan Islam dengan pluralisme masyarakat-bangsa, suatu
masyarakat yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konstruksi negara-bangsa.
Dengan demikian, adanya prinsip-prinsip dasar bagi Islam untuk menghadapi
kenyataan pluralisme dan negara-bangsa menjadi kenyataan yang tak bisa
ditawar-tawar lagi.
Yang menjadi persoalan, sebagaimana
berkali-kali dinyatakan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, adalah kenyataan bahwa
negara-bangsa dengan wawasan kebangsaannya adalah fakta yang tidak dapat
dihindari. Dengan kata lain, idealisasi Islam
sebagai konstruk sosial yang ideal--dan kadang utopis--hanyalah merupakan
pelarian dari kenyataan. Hanya ada dua pilihan dari hal yang akan menjadi
pencarian semacam itu: meneruskan utopisme itu kepada usaha operasional untuk
menjadikan Islam sebagai sistem alternatif terhadap konsep negara-bangsa
umumnya, atau langsung meninggalkan wawasan Islam sama sekali. Jelas sekali,
dalam pandangan Abdurrahman Wahid, memilih salah satu dari dua hal di atas sama
sekali tidak konstruktif, karena di dalamnya terkandung sikap apatis terhadap
kehidupan masyarakat bangsa yang mesti dihadapi.[16]
Karena itulah, tulisan ini sengaja mengangkat "angan-angan sosial-politik
demokratik" dari Piagam Madinah sebagai upaya untuk menundukkan
permasalahan masyarakat bangsa yang demikian plural itu pada konteks yang
proporsional.
Namun
semestinya membincangkan "Islam" kaitannya dengan
"sosial-politik" dewasa ini tentu tidak bisa hanya merujuk
pada masa awal Islam. Masa Rasul dan al-Khulafâ' al-Râsyidûn sekalipun,
yang selalu dipandang "ideal" untuk saat itu, tidak terlalu tepat
untuk dijadikan sebagai satu-satunya cermin dalam menghadapi pluralisme modern.
Dengan luasnya hamparan "ruang" dan memanjangnya rentang
"waktu" kehadiran Islam, kita tidak bisa mengasumsikan Islam taken
for granted begitu saja. Islam yang diterima sekarang ini tidak lain adalah
Islam yang telah menjelma melalui proses pergulatan sejarah manusia dalam
segala dimensinya; Islam yang telah (dan harus) menyejarah (Islam historis).
Karena itu, realitas pluralisme, modernisme, sekularisme, dan hegemoni nation-state--sebagai
realitas kepolitikan kontemporer--harus menjadi agenda dalam diskursus
sosial-politik Islam (kontemporer). Bukan sekadar itu, seluruh ranah kebudayaan
dan peradaban, termasuk ruh dari setiap perkembangan zaman, penting menjadi
pertimbangan dalam memahami dan merumuskan Islam pada zamannya.
"Seperti dijelaskan oleh
Bernard Lewis, jika kita ingin memahami semua yang terjadi di masa lalu dan
sedang terjadi sekarang di dunia Muslim, seyogyanya kita mengapresiasi watak
universalitas dan posisi sentral agama sebagai suatu faktor dalam kehidupan
umat Islam. Berbeda dengan agama-agama besar
dunia lainnya, " Islam sejak masa hidup pendirinya adalah negara itu
sendiri. Identitas agama dan pemerintahan melekat tak terhapuskan dalam
angan-angan dan kesadaran umat Islam, yang dibentuk oleh teks-teks suci,
sejarah, dan pengalaman mereka". Lebih dari itu, tidak mengherankan jika
kebanyakan gerakan sosial dan politik yang penting dalam sejarah modern umat
Islam telah menuju Islam pada benang merah yang sangat kuat dengan Islam
sebagai kekuatan pemersatu dan pemberi dorongan."[17]
Maka
tidak mengherankan, jika para pemikir Muslim merasa kesulitan dalam menentukan
"hubungan sosial-politik" yang sesuai dengan kehendak ajaran Islam.
Termasuk dalam kesulitan ini adalah melakukan respon terhadap wujud
"negara" yang telah berubah sedemikian rupa dewasa ini. Selain tidak
ada nash (teks) yang tegas-eksplisit menentukan bentuk negara sebagai
klaim Islam, juga bukti-bukti historis-sosiologis di dalam masyarakat Muslim
menunjukkan ketiadaan (nihil) bentuk tunggal negara, apalagi dalam metamorfosis
negara sekarang. Itulah sebabnya kita menyaksikan relasi agama-negara (dîn-dawlah)
menjadi demikian plural dalam sejarah politik umat Islam. Ada yang meyakini
bahwa agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated),
seperti yang dianut oleh kalangan Syi'ah. Ada juga yang memandang agama dan
negara harus berhubungan secara simbiotik, hubungan timbal balik dan saling
memerlukan. Pandangan ini dapat ditemukan, umpamanya, dalam pemikiran
Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M)[18],
Ibn Taymiyah (w. 728 H/1328 M) [19],
dan Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M)[20].
Sebaliknya ada juga yang memegang teguh bahwa agama dan negara harus
dipisah, sekularistik, seperti yang pernah digagas Ali Abd al-Raziq (w. 1966
M). Masing-masing dari penganut paradigma ini mengklaim dan bersandarkan pada
sumber ajaran Islam.[21]
Dalam
konteks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata kehidupan sosial
yang pluralistik. Sebagimana bisa dilihat dalam perumusan dan pelaksanaan
butir-butir Piagam Madinah, paradigma pluralisme ini merupakan sebuah terobosan
yang luar biasa maknanya dalam mengarahkan sejarah kemanusiaan. Piagam Madinah
hadir mempertaruhkan "gagasan baru" bagi suatu bentuk tatanan
"masyarakat baru" yang disebut ummat (community) dalam sejarah
umat manusia.
Prinsip-prinsip
Dasar Menuju Demokrasi: 'Wasiat' dari Piagam Madinah
"Piagam Madinah" adalah
sebutan bagi al-shahîfah (yang berarti lembaran tertulis, disebut
sebanyak 8 kali) dan al-kitâb (yang berarti buku, disebut sebanyak 2
kali) yang dibuat oleh Nabi SAW bersama warganya. Kata
"Madinah" menunjuk kepada tempat dibuatnya naskah. Sementara kata
"piagam" berarti "surat resmi..... yang berisi pernyataan
pemberian hak, ..... atau berisi pernyataan dan pengukuhan mengenai sesuatu.”[22]
Sumber lain menyebutkan bahwa "piagam" (charter) adalah
dokumen tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan pembuat undang-undang
yang mengakui hak-hak rakyat, baik hak-hak kelompok sosial maupun hak-hak
individu.[23]
Melihat
proses perumusannya, Piagam Madinah adalah dokumen politik penting yang dibuat
oleh Nabi SAW sebagai perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Anshar,
dan Yahudi, serta sekutunya. Dokumen itu mengandung prinsip-prinsip atau
peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka dan menetapkan
kewajiban-kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan bersama dalam kehidupan
sosial politik.
Terlepas
dari polemik historisitas penyusunan dan otentisitas naskah Piagam Madinah,
tampak dari berbagai studi yang dilakukan para ahli,[24]
Piagam Madinah yang digunakan adalah yang telah disistematisasi menjadi 47
pasal. Piagam ini tidak saja menggambarkan komposisi penduduk Madinah saat itu,
melainkan menjadi bukti historis situasi sosial-politik komunitas Madinah yang
menjalani perjanjian aliansi (treaty of alliance). Sebagai perjanjian
aliansi segi tiga--Muhajirin-Anshar-Yahudi--paling tidak bisa dilihat karena
dua alasan. Pertama, karena perjanjian itu merupakan suatu usaha Nabi
SAW untuk mengadakan rekonsiliasi antara suku-suku sebagai perjanjian
persahabatan untuk meleburkan (fusi) semua pluralitas dalam satu
komunitas yang integrated. Untuk itu, Nabi bekerja keras menumbuhkan sikap
loyal mereka kepada agama dan komunitas baru itu. Kedua, perjanjian itu
sebagai suatu aliansi antara suku-suku Arab sebagai satu golongan dan suku-suku
Yahudi sebagai satu golongan lain. Setiap suku dari Yahudi adalah satu bangsa
dengan orang-orang beriman, sekalipun mereka (Yahudi) tetap dalam agama mereka.[25]
Oleh
karena itu, diakui bahwa dengan penetapan (arrangement) ini, Nabi
Muhammad berhasil membangun masyarakat yang bersatu dari keragaman agama:
Muslim, Yahudi, dan penganut Paganisme. Ini tidak lain karena Nabi Muhammad SAW
tatkala membuat Piagam tersebut bukan hanya memperhatikan kepentingan dan
kemaslahatan masyarakat Muslim, melainkan juga memperhatikan kemaslahatan
masyarakat non-Muslim. Dengan kata lain, paradigma sosial yang digunakan Nabi,
baik dalam membaca realitas maupun mengambil keputusan politik, adalah
inklusifisme-egaliterianisme. Hal ini juga diperkuat dengan kenyataan adanya
pengakuan bahwa kebiasaan-kebiasaan (tradisi, konvensi) masyarakat Madinah
sepenuhnya diakui sebagai hukum yang hidup oleh Piagam Madinah. Oleh karenanya,
ketetapan-ketetapan Piagam Madinah menjamin hak semua kelompok sosial dan
persamaan hukum dalam segala urusan publik. Fakta historis ini, menurut Philip
K. Hitti, merupakan bukti nyata kemampuan Muhammad melakukan negosisasi dan
konsolidasi dengan berbagai golongan masyarakat Madinah.[26]
Maka
tidak apologetis, apabila Piagam ini dinyatakan mempunyai angan-angan
sosial-politik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan semua unsur pluralisme
(suku, agama, golongan, dan kepentingan) menjadi satu bangsa (ummat)
untuk hidup berdampingan secara damai, menjunjung tinggi moralitas,
ketentuan-ketentuan hukum, dan keadilan sosial atas dasar keimanan dan
ketakwaan. Dengan kata lain, angan-angan sosial-politik Islam adalah suatu
masyarakat yang ultramodern di dalam segala hal, di mana berlaku nilai-nilai
Islam secara konsisten, harmonis dengan sifat-sifat asasi manusia. Yakni, suatu
masyarakat egaliter, adil dan makmur, dan sejahtera bagi setiap warganya, tanpa
perbedaan apa pun di mata hukum. Di dalam tatanan masyarakat demikian ini akan
hidup dengan rukun dan damai segala macam ragam manusia dari seluruh aliran
agama dan suku bangsa, rahmatan li al-'âlamîn.
Jadi, tugas Islam sebenarnya adalah
mengembangkan etika sosial (social ethics) yang memungkinkan
tercapainya tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk
masyarakat yang bernama negara maupun lainnya. Dengan
demikian, universalitas Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah
masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk negara yang digunakan. Untuk mencapai
tujuan ini, cita-cita politik umat Islam harus dibimbing oleh komunitas politik
Islam sebagai asosiasi pluralistik-desentralistik yang lebih berdasarkan
pilihan ketimbang paksaan. Gagasan-gagasan ini menganjurkan tuntutan etika
sentral dari Islam yang lebih sesuai dengan asosiasi bebas bagi kerjasama
komunitas yang saling menguntungkan (mutualistik), ketimbang konsep modern
negara sentralistik yang memaksa (represif). Dengan demikian, kalau dilihat
dari fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, Islam bertugas melestarikan
sejumlah dan pola perilaku sosial yang mempertalikan pencapaian tujuan dengan
kemuliaan cara yang digunakan untuk itu. Tata nilai dan pola perilaku itu sering
disebut al-akhlâq al-karîmah. Maka jelaslah, Islam berfungsi penuh dalam
kehidupan masyarakat bangsa, melalui pengembangan nilai-nilai sebagai etika
masyarakat yang bersangkutan. Islam berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa
tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu, melainkan sebagai etika sosial yang
akan memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat sesuai dengan
martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia.
Prinsip-prinsip
substansial ini memang sungguh-sungguh terrefleksikan secara eksplisit dalam
diktum naskah Piagam Madinah. Namun, beberapa ahli, seperti Muhammad Khalid,[27]
Muhammad Jalal al-Din Surur,[28]
Hasan Ibrahim Hasan,[29]
dan Maulvi Muhammad Ali,[30]
serta Zainal Abidin Ahmad[31],
Ahmad Sukarja[32]
dan J. Suyuthi Pulungan[33]
dalam bukunya masing-masing, berbeda dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar
"kehidupan demokratis" dalam angan-angan sosial-politik Piagam
Madinah yang hanya berjumlah 47 pasal itu. Namun, dari keragaman rumusan ini
secara singkat dapat ditarik point-point umum bahwa prinsip-prinsip dasar yang
menjadi landasan bagi kehidupan demokratis untuk segala zaman dan tempat itu
adalah:
Prinsip
kesatuan umat, bangsa, komunitas (ummat wâhidah), Kolektifitas dan
solidaritas sosial, Perlindungan dan pembelaan terhadap yang lemah dan
tertindas, Keadilan sosial, Perdamain antar sesama dan lingkungan, Persamaan di
depan hukum, Kebebasan berpendapat, berorganisasi, berekspresi dan beragama, Menjunjung
tinggi hak asasi manusia, Nasionalisme, Equalitas sosial, Musyawarah
Prinsip-prinsip
di atas pada dasarnya adalah prinsip universal yang diakui oleh kalangan
internasional sebagai prasyarat untuk mewujudkan kehidupan sosial-politik yang
egaliter dan demokratis. Tampaknya, hanya ada satu prinsip yang tak terlihat di
atas bagi kokohnya kehidupan demokrasi, yakni penegasan "kedaulatan
rakyat". Namun, prinsip ini sesungguhnya telah terjawab dengan
keterlibatan rakyat dalam perumusan dan kesepakatan Piagam ini. Sikap Rasul
yang tidak memberikan petunjuk untuk menentukan penggantinya sebagai 'kepala
negara' sesudah wafatnya, selain bisa ditafsirkan sebagai sikap demokratis yang
tidak memberikan wasiat pelimpahan kekuasaan, juga bisa dimaknai bahwa Rasul
mewariskan "demokrasi" bagi generasi berikutnya. Artinya, kedaulatan
dikembalikan kepada rakyat sepenuhnya tanpa ada pesan-pesan politik yang
mengganggu kebebasannya dalam bersikap dan menentukan nasib politiknya.
Kekuasaan politik untuk mengatur urusan bersama dikembalikan sepenuhnya kepada
kedaulatan rakyat. Diamnya Rasul seolah-olah menyatakan: "Tanggungjawabmu
urusan sosial politik zamanmu, dan tanggungjawabku urusan sosial politik
zamanku; karena itu pilihlah sendiri penggantiku [jika dibutuhkan], tentukan
sendiri cara pemilihannya, dan aturlah urusan bersama dengan cara yang terbaik
menurut kamu". Dalam konteks ini, tepat apa yang dikatakan oleh Ali Abd
al-Raziq:
Islam
tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesakkan
kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus
diperintah; tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk
mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan
ekonomi yang kita miliki, dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan
tuntutan zaman.[34]
Untuk
membuktikan otentisitas dan keluhuran Piagam Madinah kiranya penting dilakukan
studi perbandingan secara mendalam dengan Magna Charta (Piagam Agung,
1215) yang dibuat Raja John dari Inggris; Bill of Rights (Undang-undang
Hak, 1689) yang diterima oleh Parlemen Inggris; Bill of Rights
(Undang-undang Hak, 1798) yang dirumuskan Rakyat Amerika; Declaration des
droits de l'homme et du Citoyen (Pernyataan Hak-hak Manusia dari Warga
Negara, 1789) yang lahir pada permulaan Revolusi Perancis; The Four Freedoms
(Empat Kebebsan): [1] kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, [2]
kebebasan beragama, [3] kebebasan dari ketakutan, dan [4] kebebasan dari
kemelaratan, yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D.
Roosevelt; dan Declaration of Human Rights (Deklarasi Hak Asasi Mnusia,
1948) oleh PBB.
Karena
itu, wajar kalau sang orientalis semacam W. Montgomery Watt menyebut Piagam
Madinah sebagai suatu "kesatuan politik tipe baru" (political unit
a new type) dan dikatakan sebagai suatu ide yang revolusioner untuk saat
itu.
Wallahu
'Alam bi al-Shawab
[1] Sistem politik (political system) yang dimaksud
adalah suatu konsep yang mengatur soal kenegaraan, misalnya tentang sumber
kekuasaan, bentuk negara, hubungan antara negara dan warga negara, cara
pengangkatan dan pemberhentian kepala negara, mekanisme pemerintahan, dan
sebaginya. Atau, pola hubungan masyarakat yang dibentuk berdasarkan
keputusan-keputusan yang sah dan dilaksanakan dalam masyarakat itu. Sistem
politik dibedakan dari sistem sosial lain oleh empat ciri khas; [1] daya
jangkau yang universal, meliput semua anggota masyarakat, [2] kontrol mutlak
atas pemakaian kekerasan fisik, [3] hak membuat keputusan-keputusan yang
mengikat dan diterima sebagai absah, dan [4] keputusannya bersifat otoritatif,
artinya menyandang daya pengabsah dan kerelaan yang besar. Karena keempat
ciri-ciri khas tersebut adalah juga ciri-ciri khas negara, maka istilah “sistem
politik” umumnya dipakai sebagai nama kolektivitas hubungan dari suatu negara.
Baca Jack C. Plano, Robert E. Riggs, dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa
Politik, Cet. II, (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm. 179.
[2] Istilah “prinsip” ini berasal dari bahasa Inggris “priciple”.
Secara leksikal berarti: [1] dasar kebenaran; hukum umum sebab akibat; [2]
tuntunan peraturan untuk tingkah laku, moral. A.S. Hornby, A.P. Cowie, dan A.C.
Gimson (eds.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (London: Oxford
University Press, 1974), hlm. 664. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata itu berarti “dasar, asas (kebenaran yang menjadi dasar
berfikir, bertindak, dan sebagainya). Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
hlm. 701.
[3] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233.
Bandingkan dengan Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan
Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 2.
[4] Munawir Sjadzali, “Islam Kosong Sistem Politik”, Wawancara
di PESANTREN No. 3/Vol.VI/1989, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 34-35.
Bandingkan juga dengan bukunya, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233.
[5] Baca Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam
John J. Donohue dan L. Esposito, (eds.), Islam in Transition, Muslim
Perspective (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 261. Ia
membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu merupakan suatu
negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.
[7] Baca W. Montgomery, Islamic Political Thought, yang
diterjemahkan menjadi Pergolakan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta:
Beunebi Cipta, 1987), hlm. 24-36. Dan terjemahan lain Politik Islam dalam
Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1988), hlm. 30-41.
[8] Baca Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rayis, al-Nadharariyat
al-Siyasat al-Islamiyyat, (Mesir: Maktabah al-Anjlu al-Mishriyat, 1957),
hlm. 18--19.
[9] Bandingkan dengan Kata Pengantar Masdar F. Mas’udi, “negara
(...)”, dalam Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori
Politik Islam, Terjemahan Amiruddin Ar-Rani dari Who Need an Islamic
State? (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. v.
[10] James A. Bill dan Carl Leiden, Politics in the Middle
East, (Boston: Little, Brown and Company, 1979), hlm. 135.
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid I,
(Kairo: Maktabah Nahdliyat al-Mishriyyah, 1979), hlm. 102.
[12] Dikutip dari J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan aL-Qur’an
(Jakarta: LSIK, 1994), hlm. 55.
[13] Buku politiknya yang sering menjadi rujukan adalah al-Hukumah
al-Islamiyyah, (kairo: Dar al-Ma’arif).
[14] Buku politiknya yang kontroversial adalah Al-Islam wa
Ushul al-Hukm (Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah, (Mesir: Mathba’ah Meshr,
1925).
[15] Karya politik Al-Maududi yang spesifik adalah Islamic
Law and Constitution, dan Al-Khilafah wa al-Mulk (Kuwait: Dar
al-Qalam, 1978).
[16] Abdurrahman Wahid, “Islam dan Masyarakat Bangsa”, dalam PESANTREN
No. 3/Vol. VI/1989, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 11.
[17] Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah,
terjemahan Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani dari Toward an Islamic
Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law,
(Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 7-8.
[19] Baca Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah
al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah, (t.tp.: Dar al-Katib al-Arabiy, t.t.).
[21] Baca lebih jauh pada M. Din Syamsudin, “Usaha Pencarian
Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, JURNAL ULUMUL QUR’AN
No. 2, Vol. IV. Th. 1993, hlm. 4-9.
[23] James, A.H. Murray et.el. (eds.), The Oxford English
Dictionary, Vol. II (London: Oxford at the Clarendon Press, 1978), hlm.
294.
[24] Misalnya studi yang dilakukan Ahmad Sukarja, tentang Piagam
Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam
Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), dan J. Suyuthi
Pulungan, tentang Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: LSIK dan RajaGrafindo Persada, 1994).
[25] Dikutip J. Suyuthi Pulungan, op. cit., dari Madjid
Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltinore: John Hopkins,
1955), hlm. 209.
[26] Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam,
(Minneapolis: University of Minnesofa, 1973), hlm. 35-36.
[28] Muhammad Jalal al-Din Surur, Qiyam al-Dawlah
al-’Arabiyyat al-Islamiyyat fi Hayat Muhammad Shallahu ‘Alaihi wa Sallam
(al-Qahirat, 1952), hlm. 78-79.
[34] Lihat Muhammad ‘Imarah, al-Islam wa Ushl al-Hukm li ‘Ali
Abd al-Raziq, (Beirut: 1972), hlm. 92.
BIBLIOGRAFI
Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk
Negara Islam, Jakarta: 1956.
Arnold, Thomas W., The Caliphate,
London: Routledge and Kegan Paul LTD, 1965.
El-Affendi, Abdel Wahab, Masyarakat
Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam, Terjemahan Amiruddin Ar-Rani
dari Who Need an Islamic State? Yogyakarta: LKiS, 1994.
Bill, James A. dan Carl Leiden, Politics
in the Middle East, Boston: Little, Brown and Company, 1979.
Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh
al-Islam, Jilid I, Kairo: Maktabah Nahdliyat al-Mishriyyah, 1979.
Hitti, Philip K., Capital Cities
of Arab Islam, (Minneapolis: University of Minnesofa, 1973.
Hornby, A.S. A.P. Cowie, dan A.C.
Gimson (eds.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford
University Press, 1974.
‘Imarah, Muhammad, al-Islam
wa Ushl al-Hukm li ‘Ali Abd al-Raziq, Beirut: 1972.
Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn
Khaldun, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Maududi, Al-Khilafah wa
al-Mulk, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Al-Mawardi, Al-Ahkam
al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
an-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi
Syari’ah, terjemahan Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani dari Toward an
Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law,
Yogyakarta: LKiS, 1994.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra
(ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985.
al-Rayis, Muhammad Dhiya’ al-Din,
al-Nadharariyat al-Siyasat al-Islamiyyat, Mesir: Maktabah al-Anjlu
al-Mishriyat, 1957.
Rahman, Fazlur, “The Islamic Concept
of State”, dalam John J. Donohue dan L. Esposito, (eds.), Islam in
Transition, Muslim Perspective, New York: Oxford University Press, 1982.
al-Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa
Ushul al-Hukm (Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah, Mesir: Mathba’ah Meshr,
1925.
Sjadzali, Munawir, Islam
dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, Jakarta:
UI-Press, 1993.
--------. “Islam Kosong Sistem
Politik”, Wawancara di PESANTREN No. 3/Vol.VI/1989, Jakarta: P3M, 1989.
Sukarja, Ahmad, Piagam Madinah
dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995.
Syamsudin, M. Din “Usaha Pencarian
Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, JURNAL ULUMUL QUR’AN
No. 2, Vol. IV. Th. 1993.
Taymiyah, Ibn, al-Siyasah
al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah, t.tp.: Dar al-Katib
al-Arabiy, t.t.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1988.
Plano, Jack C. Robert E. Riggs, dan
Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Cet. II, Jakarta: Rajawali,
1989.
Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan aL-Qur’an ,
Jakarta: LSIK, 1994.
Wahid, Abdurrahman, “Islam dan Masyarakat
Bangsa”, dalam PESANTREN No. 3/Vol. VI/1989, Jakarta: P3M, 1989.
Watt, W. Montgomery Islamic
Political Thought, yang diterjemahkan menjadi Pergolakan Pemikiran
Politik Islam, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987; Dan terjemahan lain Politik
Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: P3M, 1988.
Biodata Penulis
Marzuki Wahid, lahir di Cirebon 20
Agustus 1971. Alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pondok
Pesantren Krapyak Yogyakarta. Menempuh pendidikan sarjana (S1) pada Fak.
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Magister (S2) pada IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kini tengah menyelesaikan program pendidikan doktor (S3)
pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehari-hari bekerja sebagai Kepala Seksi
Penelitian dan Pengkajian Ilmiah pada Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
Depag RI, staf pengajar pada Fak. Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan
Sekolah Tinggi Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta. Juga aktif sebagai staf
peneliti pada LAKPESDAM-NU Jakarta dan sekretaris Dewan Kebijakan Fahmina-institute
Cirebon. Beberapa buku yang pernah dieditnya adalah Pesantren Masa Depan
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Geger di Republik NU (Jakarta:
KOMPAS-Lakpesdam, 1999), Dinamika NU (Jakarta: KOMPAS-Lakpesdsam, 1999),
Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung:
Rosda-INCReS, 1999). Sedangkan buku yang ditulis sendiri bersama Rumadi adalah Fikih
Madzhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS,
2000). Adapun beberapa buku di mana ia menjadi salah satu kontributor tulisan
adalah Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran
Ulama Muda, (Yogyakarta: Kerjasama Rahima-ff-LKiS, 2002), Serial
Khutbah Kontemporer, Beragama di Abad Dua Satu, Cet. I, (Jakarta: CV.
Zikrul-Hakim, 1997), dan Kritik Nalar Bahtsul Masail NU: Trasformasi
Paradigma, (Jakarta: Lakpesdam, 2002).
http://isif.ac.id/riset/item/42-islam-dan-pluralisme-angan-angan-sosial-politik-demokratik-piagam-madinah.html
*Catatan yang tertinggal
dikutip dari seorang yang "Tanpa Nama"
0 komentar:
Posting Komentar