About

Email : Kritik dan Sarannya ditunggu d.haryanto88@gmail.com

Selasa, 19 November 2013

Imaginasi Demokrasi Dalam Persepktif Islam

Imaginasi Demokrasi Dalam Persepktif Islam

            Tulisan ini sengaja diberi titel "angan-angan (imaginaire) sosial-politik demokratik Piagam Madinah". Sedikitnya ada tiga alasan yang bisa dikemukakan sebagai pertanggunganjawab dalam menentukan pilihan redaksi tersebut berikut implikasi makna yang dikandungnya. Pertama, penulis menyepakati suatu pendapat bahwa baik al-Qur'an maupun al-Sunnah, sebagai sumber utama Islam, dalam berbagai teksnya tidak mengajarkan suatu bentuk atau sistem pemerintahan (negara)[1] tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Karena itu, penulis menyebut “angan-angan sosial-politik”, bukan “sistem politik atau pemerintahan” Piagam Madinah. Sumber Islam itu hanya memberikan pedoman ajaran berupa seperangkat prinsip[2] dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[3] Prinsip-prinsip yang dimaksud bersifat universal sesuai dengan watak dasar Islam yang transhistoris dan eternal. Demikian juga Piagam Madinah yang dirumuskan Rasulullah SAW bersama warganya. Piagam ini sama sekali tidak mencerminkan sebuah sistem negara atau pemerintahan yang baku, melainkan menggambarkan sejumlah prinsip luhur yang penting bagi kemanusiaan dan keadilan sosial. Sementara pola kenegaraan yang diterapkan Abu Bakar, Umar b. Khatab, Usman b. Affan, dan Ali b. Abi Thalib, serta sistem-sistem negara lain yang mengklaim Islam, semuanya juga tak ada yang bersifat imperatif dan teologis. Keragaman tersebut semata-mata bersifat sosiologis-relatifis yang tidak mengikat bagi umat Islam.
            Selain itu, terbukti bahwa sebuah sistem cenderung bersifat statis, mengekang dinamika masyarakat yang selalu berubah, dan menghambat perkembangan dari masa ke masa, terlebih lagi apabila sistem itu diwahyukan dan bersifat absolut. Tentu sifat ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan prinsip fleksibelitas agar bisa diterapkan di mana saja dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan bagaimana saja (shâlih-un li kulli zamân-in wa makân-in wa ahwâl-in). Sebagai angan-angan sosial-politik, Piagam Madinah tentu dapat menjadi inspirasi politik bagi umat Islam untuk membangun tatanan kenegaraan yang beretika dan bermoral. Pemahaman ini sejalan dengan prinsip universalitas ajaran Islam yang memungkinkan Islam diamalkan di mana dan kapan saja. Karena itu, benar apa yang dikatakan Munawir Sjadzali bahwa:
            Islam tidak hanya mengatur soal ibadah, tetapi juga hubungan antar manusia, misalnya Islam berbicara tentang beberapa prinsip atau etika seperti musâwah (persamaan), 'adâlah (keadilan), syûrâ (musyawarah) dan sebagainya. Tetapi, Islam tidak menetapkan sesuatu sistem untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Sebenarnya saya tidak mengatakan bahwa di dalam Islam tidak terdapat sistem politik, tetapi Islam tidak mempunyai preferensi tentang sistem politik yang mana. Apalagi para penggagas negara Islam kontemporer yang paling getol pun tidak berbicara tentang sistem [negara] Islam.[4]
Bagi penulis, prinsip dan tata nilai etika tersebut disebut angan-angan (imaginaire) sosial-politik [Islam] yang demokratik.
            Kedua, digunakan kata "demokratik" saja, bukan "negara demokratik" atau "khilafah demokratik" atau lainnya, karena angan-angan sosial-politik Islam--dalam asumsi penulis--tidak menentukan kepastian sebuah bentuk [performa] negara apapun. Karena itu, kebebasan merumuskan bentuk negara sebagai pelembagaan dan perwujudan nyata dari angan-angan tersebut terbuka lebar bagi kesejarahan umat Islam.
            Di samping itu, menggunakan kata "negara" dewasa ini terasa mengerikan. Sebab, performa negara sekarang jauh berbeda dengan istilah "negara" yang digunakan para pakar untuk mengidentifikasi komunitas Madinah saat Nabi SAW memimpin. Memang intelektual semacam Fazlur Rahman,[5] Thomas W. Arnold, [6] H.A.R. Gibb, W. Montgomery Watt,[7] D.B. MacDonald, C. A. Nallino, Joseph Schacht, R. Strothmann,[8] dan banyak pakar lain, dengan 'kaca mata' ilmu politik modern menganggap komunitas Nabi SAW saat itu adalah sebuah "negara"; karenanya dalam waktu yang bersamaan Nabi menurut mereka adalah pemimpin agama dan kepala negara sekaligus. Tapi, penulis yakin mereka tidak akan menyamakan istilah "negara" yang digunakan untuk komunitas Nabi saat itu dengan konsep “negara” yang berlangsung dewasa ini. Sebab, realitas negara saat ini telah memetamorposis menjadi sosok “makhluk” yang--seolah-olah--paling raksasa, paling berkuasa, di atas bumi ini. Ia memiliki kewenangan (authority), kekuatan (power), dan klaim (claim) yang hampir tak terbatas (unlimited), termasuk terhadap "kebenaran". Bisa diilustrasikan, kalau hati seorang beriman menyatakan bahwa di atas manusia tidak ada instansi lain kecuali Tuhan, maka dalam kenyataannya, yang dirasakan oleh setiap manusia yang beriman maupun kafir, di atas manusia yang secara riil ada dan benar-benar terasa adanya adalah maha-instansi yang bernama "negara". Negara semakin terasa menjadi pemeran sifat kemahakuasaan Tuhan sebagai al-Muhîth, yang maha-meliput.[9] Meminjam istilah yang digunakan Karl Marx untuk menyebut realitas negara sekarang adalah suatu aparat atau mesin opresi (penindasan), tirani, dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat-alat reproduksi (kaum kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan kelas pekerja. "Negara" yang demikian tentu bukan istilah yang tepat untuk menyebut komunitas Nabi SAW saat itu dengan Piagam Madinahnya.
            Untuk kata "demokratis", para teorisi politik Islam memang terlalu hati-hati untuk menyebut bahwa Islam itu "demokratis". Karena jika demokratis, maka berarti Islam mengakui kedaulatan rakyat di mana otoritas Syari’at Islam dapat dianulir oleh kesepakatan rakyat dalam lembaga perwakilan rakyat. Kekhawatiran ini pernah menghantui pemikiran politik beberapa pemikir Islam, seperti Abu A’la al-Maududi, Hasan al-Banna, dan Sayyid Quthb. Dalam pandangan penulis tidak demikian, melainkan bahwa suatu komunitas jika demokratis, maka tentu komunitas itu akan mempertimbangkan Syari’at    Islam sebagai satuan hukum yang harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Karena, demokratis adalah proses pengambilan keputusan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang diangan-angankan dengan cara partisipatif dan mempertimbangan pluralitas nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dengan pemahaman ini, bisa jadi demokrasi menjadi suatu keniscayaan bagi kelompok Muslim manapun sebagai suatu cara untuk mengelola kehidupan bersama yang beragam baik secara etnik, agama, ras, status sosial, gender, maupun kepentingan.
            Ketiga, diambil "Piagam Madinah" sebagai basis kajian untuk mendapatkan wawasan tentang angan-angan sosial-politik demokratik dalam tulisan ini, karena hampir semua pengkaji sejarah Islam mengakui bahwa "Piagam Madinah" merupakan instrumen hukum-politik yang membuat komunitas Islam dan non-Islam saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di bawah kepemimpinan Nabi SAW. Bahkan, oleh sebagian pakar ilmu politik, "Piagam Madinah" dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar pertama bagi 'negara Islam' yang didirikan Nabi SAW di Madinah.
            Yang tak kalah menariknya untuk dikemukakan adalah latar sosial-budaya masyarakat Madinah saat itu yang sangat plural. Penduduknya terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras, dan agama yang berbeda. Pada umumnya faktor ini mendorong konflik yang tidak mudah diselesaikan, tetapi "Piagam Madinah" mampu menjadi perekat unitas dari pluralitas tersebut. Diakui juga oleh para pengkaji sejarah Islam bahwa model yang paling ideal dan sempurna, par-exellence, dari kepemimpinan politik abad ke-7 M adalah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW karena keberhasilannya membangun komunitas pluralis tersebut.[10] Karena alasan-alasan inilah, penulis menjadikan Piagam Madinah sebagai basis kajian untuk memperoleh kejelasan nilai normatif dan empirik Islam dalam pergumulannya di tengah masyarakat pluralistik.
Islam dan Negara-Bangsa: Kebutuhan Prinsip Kebangsaan
            Sudah menjadi pengetahuan umum, 14 abad yang lalu, Islam hadir dan berinteraksi secara sosial-politik dalam lingkungan masyarakat komunal-sukuisme yang plural. Pluralitas tersebut terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan suku-bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama dan keyakinan berbeda. Hasan Ibrahim Hasan, sejarawan Mesir, 'membaca' ada empat golongan dominan saat itu, yakni [1] Muhajirin, [2] Anshar, [3] Kaum munafik dan musyrik, dan [3] Kaum Yahudi yang tinggal di Madinah.[11] Muhammad Zafrullah Khan juga menyebut empat golongan sosial, tetapi dengan identifikasi yang berbeda: [1] Kaum muslimin, yang terdiri dari Muhajirin dan Ansor, [2] Golongan Aus dan Khazraj yang keislamannya masih dalam tingkat nominal, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi, [3] Golongan Aus dan Khazraj yang masih menganut paganisme, tetapi dalam waktu yang singkat telah menjadi muslim, dan [4] Golongan Yahudi yang terdiri dari tiga suku utama, yaitu Banu Qainuqa, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah.[12]
            Yang penting menjadi catatan di sini adalah proses kreatif Nabi Muhammad. Selama kurang lebih sepuluh tahun (622--632 M), Nabi Muhammad SAW mampu mencairkan bangunan komunalisme tersebut menjadi sebuah komunitas yang berdaulat dan integrated. Ia menawarkan suatu “gagasan baru” untuk membentuk tatanan “masyarakat baru” yang kemudian disepakati menjadi pegangan hidup bagi “masyarakat kota” yang dinamai Madinah, sebelumnya bernama Yatsrib. Konstruksi masyarakat saat itu memang diakui masih sangat sederhana dan lokal setingkat perkembangan peradabannya. Bentuk masyarakat lebih luas, lebih kompleks, dan lebih plural tercapai semasa kepemimpinan al-khulafâ' al-râsyidûn dan sesudahnya. Kawasan masyarakatnya bukan lagi kota Madinah an sich, melainkan telah melikup seluruh semenanjung Arabia, Persia, dan menaklukkan seluruh wilayah Asia di bawah Kekaisaran Romawi, kecuali Anatolia (Turki Modern).
            Pada kegamangan modernitas dewasa ini, Islam suka tidak suka harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global disebut negara-bangsa (nation-state). Menghadapi ini, sungguh tidak mudah bagi kaum muslimin untuk mencernakan keharusan historis secara interaktif. Kesulitan ini telah melahirkan polarisasi pemikiran politik yang sangat beragam, khususnya pada tiga abad terakhir ini. Munculnya para pemikir dan pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Sa'ad Zahlul (1867-1927), Muhammad Husein Haikal (1888-1956 M)[13], Thaha Husayn (1888-1966), Ali Abd al-Raziq (1888-1966)[14], Abu al-'Ala al-Maududi (1903-1979)[15], dan Sayyid Quthb (1906-1968 M), yang kemudian melahirkan apa yang disebut oleh pengamat sebagai “Islam fundamentalis”, “Islam modernis”, “Islam tradisionalis”, “Islam sosialis”, “Islam sekularis”, dan “Islam nasionalis”, adalah bentuk-bentuk nyata dari interaksi tersebut. Adalah tetap relevan untuk memperbincangkan kaitan Islam dengan pluralisme masyarakat-bangsa, suatu masyarakat yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konstruksi negara-bangsa. Dengan demikian, adanya prinsip-prinsip dasar bagi Islam untuk menghadapi kenyataan pluralisme dan negara-bangsa menjadi kenyataan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
            Yang menjadi persoalan, sebagaimana berkali-kali dinyatakan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, adalah kenyataan bahwa negara-bangsa dengan wawasan kebangsaannya adalah fakta yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, idealisasi Islam sebagai konstruk sosial yang ideal--dan kadang utopis--hanyalah merupakan pelarian dari kenyataan. Hanya ada dua pilihan dari hal yang akan menjadi pencarian semacam itu: meneruskan utopisme itu kepada usaha operasional untuk menjadikan Islam sebagai sistem alternatif terhadap konsep negara-bangsa umumnya, atau langsung meninggalkan wawasan Islam sama sekali. Jelas sekali, dalam pandangan Abdurrahman Wahid, memilih salah satu dari dua hal di atas sama sekali tidak konstruktif, karena di dalamnya terkandung sikap apatis terhadap kehidupan masyarakat bangsa yang mesti dihadapi.[16] Karena itulah, tulisan ini sengaja mengangkat "angan-angan sosial-politik demokratik" dari Piagam Madinah sebagai upaya untuk menundukkan permasalahan masyarakat bangsa yang demikian plural itu pada konteks yang proporsional.
            Namun semestinya membincangkan "Islam" kaitannya dengan "sosial-politik" dewasa ini tentu tidak bisa hanya merujuk pada masa awal Islam. Masa Rasul dan al-Khulafâ' al-Râsyidûn sekalipun, yang selalu dipandang "ideal" untuk saat itu, tidak terlalu tepat untuk dijadikan sebagai satu-satunya cermin dalam menghadapi pluralisme modern. Dengan luasnya hamparan "ruang" dan memanjangnya rentang "waktu" kehadiran Islam, kita tidak bisa mengasumsikan Islam taken for granted begitu saja. Islam yang diterima sekarang ini tidak lain adalah Islam yang telah menjelma melalui proses pergulatan sejarah manusia dalam segala dimensinya; Islam yang telah (dan harus) menyejarah (Islam historis). Karena itu, realitas pluralisme, modernisme, sekularisme, dan hegemoni nation-state--sebagai realitas kepolitikan kontemporer--harus menjadi agenda dalam diskursus sosial-politik Islam (kontemporer). Bukan sekadar itu, seluruh ranah kebudayaan dan peradaban, termasuk ruh dari setiap perkembangan zaman, penting menjadi pertimbangan dalam memahami dan merumuskan Islam pada zamannya.
            "Seperti dijelaskan oleh Bernard Lewis, jika kita ingin memahami semua yang terjadi di masa lalu dan sedang terjadi sekarang di dunia Muslim, seyogyanya kita mengapresiasi watak universalitas dan posisi sentral agama sebagai suatu faktor dalam kehidupan umat Islam. Berbeda dengan agama-agama besar dunia lainnya, " Islam sejak masa hidup pendirinya adalah negara itu sendiri. Identitas agama dan pemerintahan melekat tak terhapuskan dalam angan-angan dan kesadaran umat Islam, yang dibentuk oleh teks-teks suci, sejarah, dan pengalaman mereka". Lebih dari itu, tidak mengherankan jika kebanyakan gerakan sosial dan politik yang penting dalam sejarah modern umat Islam telah menuju Islam pada benang merah yang sangat kuat dengan Islam sebagai kekuatan pemersatu dan pemberi dorongan."[17]
            Maka tidak mengherankan, jika para pemikir Muslim merasa kesulitan dalam menentukan "hubungan sosial-politik" yang sesuai dengan kehendak ajaran Islam. Termasuk dalam kesulitan ini adalah melakukan respon terhadap wujud "negara" yang telah berubah sedemikian rupa dewasa ini. Selain tidak ada nash (teks) yang tegas-eksplisit menentukan bentuk negara sebagai klaim Islam, juga bukti-bukti historis-sosiologis di dalam masyarakat Muslim menunjukkan ketiadaan (nihil) bentuk tunggal negara, apalagi dalam metamorfosis negara sekarang. Itulah sebabnya kita menyaksikan relasi agama-negara (dîn-dawlah) menjadi demikian plural dalam sejarah politik umat Islam. Ada yang meyakini bahwa agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated), seperti yang dianut oleh kalangan Syi'ah. Ada juga yang memandang agama dan negara harus berhubungan secara simbiotik, hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Pandangan ini dapat ditemukan, umpamanya, dalam pemikiran Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M)[18], Ibn Taymiyah (w. 728 H/1328 M) [19], dan Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M)[20]. Sebaliknya ada juga yang memegang teguh bahwa agama dan negara harus dipisah, sekularistik, seperti yang pernah digagas Ali Abd al-Raziq (w. 1966 M). Masing-masing dari penganut paradigma ini mengklaim dan bersandarkan pada sumber ajaran Islam.[21]
            Dalam konteks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata kehidupan sosial yang pluralistik. Sebagimana bisa dilihat dalam perumusan dan pelaksanaan butir-butir Piagam Madinah, paradigma pluralisme ini merupakan sebuah terobosan yang luar biasa maknanya dalam mengarahkan sejarah kemanusiaan. Piagam Madinah hadir mempertaruhkan "gagasan baru" bagi suatu bentuk tatanan "masyarakat baru" yang disebut ummat (community) dalam sejarah umat manusia.
Prinsip-prinsip Dasar Menuju Demokrasi: 'Wasiat' dari Piagam Madinah
            "Piagam Madinah" adalah sebutan bagi al-shahîfah (yang berarti lembaran tertulis, disebut sebanyak 8 kali) dan al-kitâb (yang berarti buku, disebut sebanyak 2 kali) yang dibuat oleh Nabi SAW bersama warganya. Kata "Madinah" menunjuk kepada tempat dibuatnya naskah. Sementara kata "piagam" berarti "surat resmi..... yang berisi pernyataan pemberian hak, ..... atau berisi pernyataan dan pengukuhan mengenai sesuatu.”[22] Sumber lain menyebutkan bahwa "piagam" (charter) adalah dokumen tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan pembuat undang-undang yang mengakui hak-hak rakyat, baik hak-hak kelompok sosial maupun hak-hak individu.[23]
            Melihat proses perumusannya, Piagam Madinah adalah dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi SAW sebagai perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Anshar, dan Yahudi, serta sekutunya. Dokumen itu mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan bersama dalam kehidupan sosial politik.
            Terlepas dari polemik historisitas penyusunan dan otentisitas naskah Piagam Madinah, tampak dari berbagai studi yang dilakukan para ahli,[24] Piagam Madinah yang digunakan adalah yang telah disistematisasi menjadi 47 pasal. Piagam ini tidak saja menggambarkan komposisi penduduk Madinah saat itu, melainkan menjadi bukti historis situasi sosial-politik komunitas Madinah yang menjalani perjanjian aliansi (treaty of alliance). Sebagai perjanjian aliansi segi tiga--Muhajirin-Anshar-Yahudi--paling tidak bisa dilihat karena dua alasan. Pertama, karena perjanjian itu merupakan suatu usaha Nabi SAW untuk mengadakan rekonsiliasi antara suku-suku sebagai perjanjian persahabatan untuk meleburkan (fusi) semua pluralitas dalam satu komunitas yang integrated. Untuk itu, Nabi bekerja keras menumbuhkan sikap loyal mereka kepada agama dan komunitas baru itu. Kedua, perjanjian itu sebagai suatu aliansi antara suku-suku Arab sebagai satu golongan dan suku-suku Yahudi sebagai satu golongan lain. Setiap suku dari Yahudi adalah satu bangsa dengan orang-orang beriman, sekalipun mereka (Yahudi) tetap dalam agama mereka.[25]
            Oleh karena itu, diakui bahwa dengan penetapan (arrangement) ini, Nabi Muhammad berhasil membangun masyarakat yang bersatu dari keragaman agama: Muslim, Yahudi, dan penganut Paganisme. Ini tidak lain karena Nabi Muhammad SAW tatkala membuat Piagam tersebut bukan hanya memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat Muslim, melainkan juga memperhatikan kemaslahatan masyarakat non-Muslim. Dengan kata lain, paradigma sosial yang digunakan Nabi, baik dalam membaca realitas maupun mengambil keputusan politik, adalah inklusifisme-egaliterianisme. Hal ini juga diperkuat dengan kenyataan adanya pengakuan bahwa kebiasaan-kebiasaan (tradisi, konvensi) masyarakat Madinah sepenuhnya diakui sebagai hukum yang hidup oleh Piagam Madinah. Oleh karenanya, ketetapan-ketetapan Piagam Madinah menjamin hak semua kelompok sosial dan persamaan hukum dalam segala urusan publik. Fakta historis ini, menurut Philip K. Hitti, merupakan bukti nyata kemampuan Muhammad melakukan negosisasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan masyarakat Madinah.[26]
            Maka tidak apologetis, apabila Piagam ini dinyatakan mempunyai angan-angan sosial-politik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan semua unsur pluralisme (suku, agama, golongan, dan kepentingan) menjadi satu bangsa (ummat) untuk hidup berdampingan secara damai, menjunjung tinggi moralitas, ketentuan-ketentuan hukum, dan keadilan sosial atas dasar keimanan dan ketakwaan. Dengan kata lain, angan-angan sosial-politik Islam adalah suatu masyarakat yang ultramodern di dalam segala hal, di mana berlaku nilai-nilai Islam secara konsisten, harmonis dengan sifat-sifat asasi manusia. Yakni, suatu masyarakat egaliter, adil dan makmur, dan sejahtera bagi setiap warganya, tanpa perbedaan apa pun di mata hukum. Di dalam tatanan masyarakat demikian ini akan hidup dengan rukun dan damai segala macam ragam manusia dari seluruh aliran agama dan suku bangsa, rahmatan li al-'âlamîn.
            Jadi, tugas Islam sebenarnya adalah mengembangkan etika sosial (social ethics) yang memungkinkan tercapainya tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masyarakat yang bernama negara maupun lainnya. Dengan demikian, universalitas Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk negara yang digunakan. Untuk mencapai tujuan ini, cita-cita politik umat Islam harus dibimbing oleh komunitas politik Islam sebagai asosiasi pluralistik-desentralistik yang lebih berdasarkan pilihan ketimbang paksaan. Gagasan-gagasan ini menganjurkan tuntutan etika sentral dari Islam yang lebih sesuai dengan asosiasi bebas bagi kerjasama komunitas yang saling menguntungkan (mutualistik), ketimbang konsep modern negara sentralistik yang memaksa (represif). Dengan demikian, kalau dilihat dari fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, Islam bertugas melestarikan sejumlah dan pola perilaku sosial yang mempertalikan pencapaian tujuan dengan kemuliaan cara yang digunakan untuk itu. Tata nilai dan pola perilaku itu sering disebut al-akhlâq al-karîmah. Maka jelaslah, Islam berfungsi penuh dalam kehidupan masyarakat bangsa, melalui pengembangan nilai-nilai sebagai etika masyarakat yang bersangkutan. Islam berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu, melainkan sebagai etika sosial yang akan memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat sesuai dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia.
            Prinsip-prinsip substansial ini memang sungguh-sungguh terrefleksikan secara eksplisit dalam diktum naskah Piagam Madinah. Namun, beberapa ahli, seperti Muhammad Khalid,[27] Muhammad Jalal al-Din Surur,[28] Hasan Ibrahim Hasan,[29] dan Maulvi Muhammad Ali,[30] serta Zainal Abidin Ahmad[31], Ahmad Sukarja[32] dan J. Suyuthi Pulungan[33] dalam bukunya masing-masing, berbeda dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar "kehidupan demokratis" dalam angan-angan sosial-politik Piagam Madinah yang hanya berjumlah 47 pasal itu. Namun, dari keragaman rumusan ini secara singkat dapat ditarik point-point umum bahwa prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan bagi kehidupan demokratis untuk segala zaman dan tempat itu adalah:
            Prinsip kesatuan umat, bangsa, komunitas (ummat wâhidah), Kolektifitas dan solidaritas sosial, Perlindungan dan pembelaan terhadap yang lemah dan tertindas, Keadilan sosial, Perdamain antar sesama dan lingkungan, Persamaan di depan hukum, Kebebasan berpendapat, berorganisasi, berekspresi dan beragama, Menjunjung tinggi hak asasi manusia, Nasionalisme, Equalitas sosial, Musyawarah
            Prinsip-prinsip di atas pada dasarnya adalah prinsip universal yang diakui oleh kalangan internasional sebagai prasyarat untuk mewujudkan kehidupan sosial-politik yang egaliter dan demokratis. Tampaknya, hanya ada satu prinsip yang tak terlihat di atas bagi kokohnya kehidupan demokrasi, yakni penegasan "kedaulatan rakyat". Namun, prinsip ini sesungguhnya telah terjawab dengan keterlibatan rakyat dalam perumusan dan kesepakatan Piagam ini. Sikap Rasul yang tidak memberikan petunjuk untuk menentukan penggantinya sebagai 'kepala negara' sesudah wafatnya, selain bisa ditafsirkan sebagai sikap demokratis yang tidak memberikan wasiat pelimpahan kekuasaan, juga bisa dimaknai bahwa Rasul mewariskan "demokrasi" bagi generasi berikutnya. Artinya, kedaulatan dikembalikan kepada rakyat sepenuhnya tanpa ada pesan-pesan politik yang mengganggu kebebasannya dalam bersikap dan menentukan nasib politiknya. Kekuasaan politik untuk mengatur urusan bersama dikembalikan sepenuhnya kepada kedaulatan rakyat. Diamnya Rasul seolah-olah menyatakan: "Tanggungjawabmu urusan sosial politik zamanmu, dan tanggungjawabku urusan sosial politik zamanku; karena itu pilihlah sendiri penggantiku [jika dibutuhkan], tentukan sendiri cara pemilihannya, dan aturlah urusan bersama dengan cara yang terbaik menurut kamu". Dalam konteks ini, tepat apa yang dikatakan oleh Ali Abd al-Raziq:
            Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesakkan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki, dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.[34]
            Untuk membuktikan otentisitas dan keluhuran Piagam Madinah kiranya penting dilakukan studi perbandingan secara mendalam dengan Magna Charta (Piagam Agung, 1215) yang dibuat Raja John dari Inggris; Bill of Rights (Undang-undang Hak, 1689) yang diterima oleh Parlemen Inggris; Bill of Rights (Undang-undang Hak, 1798) yang dirumuskan Rakyat Amerika; Declaration des droits de l'homme et du Citoyen (Pernyataan Hak-hak Manusia dari Warga Negara, 1789) yang lahir pada permulaan Revolusi Perancis; The Four Freedoms (Empat Kebebsan): [1] kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, [2] kebebasan beragama, [3] kebebasan dari ketakutan, dan [4] kebebasan dari kemelaratan, yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt; dan Declaration of Human Rights (Deklarasi Hak Asasi Mnusia, 1948) oleh PBB.
            Karena itu, wajar kalau sang orientalis semacam W. Montgomery Watt menyebut Piagam Madinah sebagai suatu "kesatuan politik tipe baru" (political unit a new type) dan dikatakan sebagai suatu ide yang revolusioner untuk saat itu.
Wallahu 'Alam bi al-Shawab


[1] Sistem politik (political system) yang dimaksud adalah suatu konsep yang mengatur soal kenegaraan, misalnya tentang sumber kekuasaan, bentuk negara, hubungan antara negara dan warga negara, cara pengangkatan dan pemberhentian kepala negara, mekanisme pemerintahan, dan sebaginya. Atau, pola hubungan masyarakat yang dibentuk berdasarkan keputusan-keputusan yang sah dan dilaksanakan dalam masyarakat itu. Sistem politik dibedakan dari sistem sosial lain oleh empat ciri khas; [1] daya jangkau yang universal, meliput semua anggota masyarakat, [2] kontrol mutlak atas pemakaian kekerasan fisik, [3] hak membuat keputusan-keputusan yang mengikat dan diterima sebagai absah, dan [4] keputusannya bersifat otoritatif, artinya menyandang daya pengabsah dan kerelaan yang besar. Karena keempat ciri-ciri khas tersebut adalah juga ciri-ciri khas negara, maka istilah “sistem politik” umumnya dipakai sebagai nama kolektivitas hubungan dari suatu negara. Baca Jack C. Plano, Robert E. Riggs, dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Cet. II, (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm. 179.
[2] Istilah “prinsip” ini berasal dari bahasa Inggris “priciple”. Secara leksikal berarti: [1] dasar kebenaran; hukum umum sebab akibat; [2] tuntunan peraturan untuk tingkah laku, moral. A.S. Hornby, A.P. Cowie, dan A.C. Gimson (eds.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (London: Oxford University Press, 1974), hlm. 664. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata itu berarti “dasar, asas (kebenaran yang menjadi dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya). Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 701.
[3] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233. Bandingkan dengan Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 2.
[4] Munawir Sjadzali, “Islam Kosong Sistem Politik”, Wawancara di PESANTREN No. 3/Vol.VI/1989, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 34-35. Bandingkan juga dengan bukunya, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233.
[5] Baca Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue dan L. Esposito, (eds.), Islam in Transition, Muslim Perspective (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 261. Ia membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu merupakan suatu negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.
[6] Baca Thomas W. Arnold, The Caliphate, (London: Routledge and Kegan Paul LTD, 1965), hlm. 30.
[7] Baca W. Montgomery, Islamic Political Thought, yang diterjemahkan menjadi Pergolakan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), hlm. 24-36. Dan terjemahan lain Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1988), hlm. 30-41.
[8] Baca Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rayis, al-Nadharariyat al-Siyasat al-Islamiyyat, (Mesir: Maktabah al-Anjlu al-Mishriyat, 1957), hlm. 18--19.
[9] Bandingkan dengan Kata Pengantar Masdar F. Mas’udi, “negara (...)”, dalam Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam, Terjemahan Amiruddin Ar-Rani dari Who Need an Islamic State? (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. v.
[10] James A. Bill dan Carl Leiden, Politics in the Middle East, (Boston: Little, Brown and Company, 1979), hlm. 135.
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid I, (Kairo: Maktabah Nahdliyat al-Mishriyyah, 1979), hlm. 102.
[12] Dikutip dari J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan aL-Qur’an (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. 55.
[13] Buku politiknya yang sering menjadi rujukan adalah al-Hukumah al-Islamiyyah, (kairo: Dar al-Ma’arif).
[14] Buku politiknya yang kontroversial adalah Al-Islam wa Ushul al-Hukm (Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah, (Mesir: Mathba’ah Meshr, 1925).
[15] Karya politik Al-Maududi yang spesifik adalah Islamic Law and Constitution, dan Al-Khilafah wa al-Mulk (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).
[16] Abdurrahman Wahid, “Islam dan Masyarakat Bangsa”, dalam PESANTREN No. 3/Vol. VI/1989, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 11.
[17] Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terjemahan Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani dari Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 7-8.
[18] Baca Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).
[19] Baca Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah, (t.tp.: Dar al-Katib al-Arabiy, t.t.).
[20] Baca Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).
[21] Baca lebih jauh pada M. Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, JURNAL ULUMUL QUR’AN No. 2, Vol. IV. Th. 1993, hlm. 4-9.
[22] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., hlm. 680.
[23] James, A.H. Murray et.el. (eds.), The Oxford English Dictionary, Vol. II (London: Oxford at the Clarendon Press, 1978), hlm. 294.
[24] Misalnya studi yang dilakukan Ahmad Sukarja, tentang Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), dan J. Suyuthi Pulungan, tentang Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: LSIK dan RajaGrafindo Persada, 1994).
[25] Dikutip J. Suyuthi Pulungan, op. cit., dari Madjid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltinore: John Hopkins, 1955), hlm. 209.
[26] Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam, (Minneapolis: University of Minnesofa, 1973), hlm. 35-36.
[27] Baca Muhammad Khalid, Khatam al-Nabiyyin, (al-Qahirat, 1955), hlm. 116.
[28] Muhammad Jalal al-Din Surur, Qiyam al-Dawlah al-’Arabiyyat al-Islamiyyat fi Hayat Muhammad Shallahu ‘Alaihi wa Sallam (al-Qahirat, 1952), hlm. 78-79.
[29] Baca Hasan Ibrahim Hasan, op. cit., hlm. 124.
[30] Baca Maulvi Muhammad Ali, Muhammad the Prophet (Lahore, 1924), hlm. 121.
[31] Baca Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta: 1956), hlm. 78.
[32] Baca Ahmad Sukarja, op. cit.
[33] Baca J. Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 121.
[34] Lihat Muhammad ‘Imarah, al-Islam wa Ushl al-Hukm li ‘Ali Abd al-Raziq, (Beirut: 1972), hlm. 92.

BIBLIOGRAFI
Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, Jakarta: 1956.
Arnold, Thomas W., The Caliphate, London: Routledge and Kegan Paul LTD, 1965.
El-Affendi, Abdel Wahab, Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam, Terjemahan Amiruddin Ar-Rani dari Who Need an Islamic State? Yogyakarta: LKiS, 1994.
Bill, James A. dan Carl Leiden, Politics in the Middle East, Boston: Little, Brown and Company, 1979.
Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid I, Kairo: Maktabah Nahdliyat al-Mishriyyah, 1979.
Hitti, Philip K., Capital Cities of Arab Islam, (Minneapolis: University of Minnesofa, 1973.
Hornby, A.S. A.P. Cowie, dan A.C. Gimson (eds.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford University Press, 1974.
‘Imarah, Muhammad, al-Islam wa Ushl al-Hukm li ‘Ali Abd al-Raziq, Beirut: 1972.
Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Maududi, Al-Khilafah wa al-Mulk, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
an-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, terjemahan Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani dari Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
al-Rayis, Muhammad Dhiya’ al-Din, al-Nadharariyat al-Siyasat al-Islamiyyat, Mesir: Maktabah al-Anjlu al-Mishriyat, 1957.
Rahman, Fazlur, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue dan L. Esposito, (eds.), Islam in Transition, Muslim Perspective, New York: Oxford University Press, 1982.
al-Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm (Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah, Mesir: Mathba’ah Meshr, 1925.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI-Press, 1993.
--------. “Islam Kosong Sistem Politik”, Wawancara di PESANTREN No. 3/Vol.VI/1989, Jakarta: P3M, 1989.
Sukarja, Ahmad, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995.
Syamsudin, M. Din “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, JURNAL ULUMUL QUR’AN No. 2, Vol. IV. Th. 1993.
Taymiyah, Ibn, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah, t.tp.: Dar al-Katib al-Arabiy, t.t.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Plano, Jack C. Robert E. Riggs, dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Cet. II, Jakarta: Rajawali, 1989.
Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan aL-Qur’an , Jakarta: LSIK, 1994.
Wahid, Abdurrahman, “Islam dan Masyarakat Bangsa”, dalam PESANTREN No. 3/Vol. VI/1989, Jakarta: P3M, 1989.
Watt, W. Montgomery Islamic Political Thought, yang diterjemahkan menjadi Pergolakan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987; Dan terjemahan lain Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: P3M, 1988.


Biodata Penulis
Marzuki Wahid, lahir di Cirebon 20 Agustus 1971. Alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Menempuh pendidikan sarjana (S1) pada Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Magister (S2) pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini tengah menyelesaikan program pendidikan doktor (S3) pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehari-hari bekerja sebagai Kepala Seksi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah pada Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, staf pengajar pada Fak. Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Sekolah Tinggi Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta. Juga aktif sebagai staf peneliti pada LAKPESDAM-NU Jakarta dan sekretaris Dewan Kebijakan Fahmina-institute Cirebon. Beberapa buku yang pernah dieditnya adalah Pesantren Masa Depan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Geger di Republik NU (Jakarta: KOMPAS-Lakpesdam, 1999), Dinamika NU (Jakarta: KOMPAS-Lakpesdsam, 1999), Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: Rosda-INCReS, 1999). Sedangkan buku yang ditulis sendiri bersama Rumadi adalah Fikih Madzhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2000). Adapun beberapa buku di mana ia menjadi salah satu kontributor tulisan adalah Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Yogyakarta: Kerjasama Rahima-ff-LKiS, 2002), Serial Khutbah Kontemporer, Beragama di Abad Dua Satu, Cet. I, (Jakarta: CV. Zikrul-Hakim, 1997), dan Kritik Nalar Bahtsul Masail NU: Trasformasi Paradigma, (Jakarta: Lakpesdam, 2002).

http://isif.ac.id/riset/item/42-islam-dan-pluralisme-angan-angan-sosial-politik-demokratik-piagam-madinah.html

*Catatan yang tertinggal
dikutip dari seorang yang "Tanpa Nama"

0 komentar:

Posting Komentar